Mohon tunggu...
Nunung Kusumawati
Nunung Kusumawati Mohon Tunggu... Guru - Aktivitas sehari-hari sebagai pengajar SMA di Semarang

Penyuka seni, filsafat, dan berpikir bebas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pita Putih Kejujuran

29 November 2018   10:05 Diperbarui: 29 November 2018   10:06 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Prestasi memang penting, namun jujur yang lebih utama. Sebaris kata-kata tersebut sangat dekat di telinga kita. Apalagi momen para siswa di Indonesia yang sedang menghadapi ujian nasional (UN).. Menyitir dari apa yang disampaikan oleh Mendikbud Muhadjir Effendy tentang UN, yaitu: "Ujian atau evaluasi bagi anak didik adalah bagian dari pendidikan, maka hindarkan dan cegah semua upaya yang mengarah pada ketidakjujuran, karena itu jelas akan mengingkari hakikat pendidikan." Jelas bahwa kejujuran adalah armada utama bagi kita untuk mencapai tujuan apapun.

Tidak luput juga untuk tujuan pendidikan. Sebagai guru, orang tua seyogyanya membungkus dan membalut budaya kejujuran menjadi karakter sehari-hari bagi anak-anak kita.

Tempo lalu, para siswa di SMA Islam Hidayatullah Semarang melakukan kampanye unik yang diberi nama "Pita Putih Kejujuran." Kampanye kecil namun berdampak luar biasa ini digawangi oleh anak-anak Rohis yang di luar dugaan disambut baik oleh siswa-siswa yang lain, apalagi para guru.

Menjelang dilaksanakannya Penilaian Akhir Sekolah (PAS) mereka melakukan orasi kecil setelah kegiatan Dzikir Pagi di sekolah, yaitu berjanji dan bertekad untuk mengerjakan PAS dengan jujur (tidak mencontek dan tidak menconteki teman), serta mengajak kepada seluruh siswa untuk melakukan hal sama. Mereka membagikan pita berwarna putih untuk dikenakan di pergelangan tangan bagi siapa saja yang mau bergabung dengan aksi ini.

Tidak diduga, sambutan positif pun mengalami grafik kenaikan setiap harinya. Yang semula hanya dipelopori 30 siswa lama-lama meningkat hingga 84 siswa yang bergabung. Di setiap ruang ujian bapak dan ibu guru selalu menjumpai sekitar 7 siswa yang mengenakan pita putih di pergelagan tangannya. Aksi perdana ini sungguh membawa suasana ujian yang berbeda.

Para siswa semakin kondusif karena malu jika mencontek.  Rasa malu mencontek inilah sebenarnya yang dibangun di sekolah. Sepertinya cara ini menjadi efektif untuk mengurangi kegiatan "mencontek" di kalangan siswa. Kondisi lain, jika ada siswa yang nekat mencontek, siswa lain dengan tidak takut-takut lagi melaporkannya kepada guru. Suasana kondusif, sungguh-sungguh, dan jujur sangat terasa di ruang-ruang ujian.

Kesadaran untuk jujur ini lah yang masih menjadi PR berat bagi kita khsususnya para pendidik dan orang tua. Hal ini diperparah dengan kondisi sosial yang semakin memanas di negeri kita ini. Media sosial, televisi, dan lain-lain hampir sering menyuguhkan berita-berita menyedihkan dari para aktor negara yang tampil dengan trending topic "Tidak Jujur." Sebut saja koruptor, kampanye penuh janji manis, berita hoax, dan lain-lain. Sepertinya sudah menjadi budaya di Indonesia bahwa tidak jujur itu hal yang lumrah. Dengan kata lain, dengan kata lain Indonesia adalah laboratorium terbaik untuk masalah-masalah sosial khususnya masalah sikap "tidak jujur."

Dikutip dari http://gagasanhukum.wordpress.com/2011/06/23/ menyatakan bahwa terdapat tiga jenis perbuatan tidak jujur, antara lain: Kejujuran dalam ucapan, yaitu kesesuaian ucapan dengan realitas, kejujuran dalam perbuatan, artinya kesesuaian antara ucapan dan perbuatan, dan yang terakhir kejujuran dalam niat, yaitu merupakan kejujuran yang tertinggi dimana ucapan dan perbuatan semuanya hanya untuk Tuhan yang maha kuasa.

Jika kita telusuri ke belakang, kira-kira mengapa tidak sedikit orang nekat berbuat tidak jujur? Menurut penulis ada dua faktor penyebab utamanya yaitu karena takut dimarahi atau dihukum jika berbuat salah dan karena melihat contoh kebohongan yang ada di sekitar (keluarga, sekolah, dan masyarakat). Dua hal ini yang sering memicu banyak orang untuk bebuat tidak jujur sebab manusiawi siapa sih yang suka dimarahi atau dihukum. Selain itu dengan melihat dan mendengar fenomena di lingkungan sekitar tentang ketidakjujuran lambat laun secara tidak sadar akan masuk ke dalam alam bawah sadar kita bahwa hal-hal seperti mencontek saat ujian adalah sesuatu yang lumrah, karena banyak sekolah lain pun melakukan hal demikian. Lantas apakah kita hanya galau saja melihat fenomena ini?

Budaya keteladanan dan kedisiplinan

Keteladanan merupakan satu perbuatan ajaib yang bisa "menghipnotis"  orang lain melakukan hal-hal luar biasa bahkan mampu menghasilkan prestasi jauh diluar ekspektasi yang ditentukan. Guru yang bisa menjadi teladan baik terhadap guru-guru lain maupun para siswa menjadi salah satu penentu keberhasilan dalam pembangunan karakter kejujuran di kalangan para siswa di sekolah. Guru harus mampu jujur kepada dirinya sendiri dan siswa, ketika tidak bisa menjawab pertanyaan dari siswa. Hal ini sangat mungkin terjadi pada para guru, sebab sejatinya siswa bukan seperti gelas kosong yang tidak tahu apa-apa. Mereka tumbuh dan berkembang belajar dari media yang sangat banyak di sekitar mereka. Bisa jadi wawasan mereka sangat luas, apalagi didukung faktor keluarga yang berlatar belakang pendidikan baik. Contoh guru yang berani jujur untuk mengatakan bahwa belum bisa menjawab dengan baik atau telah melakukan kekhilafan dalam menyampaikan konsep dan kemudian segera memperbaikinya dengan mencari referensi yang terkait, tidak membuat harga dirinya berkurang di mata para siswa bahkan sebaliknya mereka akan kagum terhadap kejujuran guru tersebut. Satu hal keteladanan kejujuran secara tidak langsung telah diajarkan kepada anak didik. Kebiasaan-kebiasaan lain di sekolah baik yang dirancang guru maupun tidak jika dibina terus menerus maka akan menjadi stimulus efektif yang bisa ditiru oleh para siswa. Dalam mempertahankan kebiasaan jujur ini juga perlu ketrampilan guru untuk jeli  mengetahui siswa yang jujur dan tidak jujur. Guru yang dekat dan perhatian terhadap para siswanya pasti tidak akan mudah ditipu oleh siswa. Sebaliknya guru yang cuek, masa bodoh, terhadap siswa pastilah gampang ditipu, karena mereka tidak dekat dengan siswa sehingga tidak mampu memahami karakter siswa. Coba bayangkan, jika ada banyak guru bisa ditipu siswa-siswanya pasti upaya penguatan karakter jujur ini susah dicapai tidak lain disebabkan guru sebagai tokoh yang seharusnya menanamkan dan menguatkan  kejujuran justru malah bermasalah. Oleh karena itu budaya senang memberi teladan yang baik terhadap lingkungan harus selalu dibangun dan dirawat oleh kepala sekolah serta seluruh dewan guru, tidak  mustahil para siswa pun akan senang menjadi teladan bagi teman-temannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun