Mohon tunggu...
Nastiti Cahyono
Nastiti Cahyono Mohon Tunggu... Editor - karyawan swasta

suka menulis dan fotografi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Intoleransi adalah Puncak Gunung Es

17 September 2022   10:56 Diperbarui: 17 September 2022   10:57 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  

Beberapa waktu lalu Indonesia dikejutkan dengan deklarasi penolakan gereja. Deklarasi yang ditandatangani oleh pemerintah kota Cilegon dalam hal ini Walikota dan Wakil Walikota Cilegon.

Apapun alasannya, deklarasi itu mencederai wajah pemerintah Indonesia karena dilakukan oleh pemangku kepentingan. Sebelumnya Walikota Bandung juga melakukan hal yang mirip (meski beda) yaitu menghadiri peresmian Gedung Dakwah Aliansi Nasional Anti Syiah Indonesia (ANNAS).

Kenapa mencederai wajak pemerintah (dan Indonesia) sendiri ?

Ternyata dengan sejarah yang begitu panjang soal asal usul dan keberagaman etnis di Indonesia, tidak cukup membuat segelintir orang (bahkan pemimpin daerah) untuk paham apa artinya toleransi di Indonesia. Seorang pemimpin daerah yang seharusnya adalah pemimpin untuk warga Indonesia yang berada di kota A atau kota B, atau kota C. Artinya dia bukan hanya seorang pemimpin bagi orang yang beragama X saja, tetapi juga Y, Z dll. Bukankah saat Presiden Indonesia terpilih yaitu Joko Widodo, ia adalah pesiden untuk semua waga Indonesia ? Dia bukan hanya seorang presiden bagi oang yang memilihnya saja ?

Begitu juga dengan kehadiran pada peresmian Gedung anti Syiah adalah wajah pemimpin daerah yang intoleran. Syiah dan aliran-aliran lain di beberapa agama seharusnya menjadi kewenangan Pemerintah pusat untuk setuju atau tidak setuju. Tidak seharusnya seorang pemimpin daerah dipakai segelintir orang untuk memberi kesan wakil pemerintah di daerah tidak toleran.

Penolakan gereja adalah sikap yang mengingkari atau bahkan tidak menghormati / tidak mengakui keberadaan umat lain  yang berbeda keyakinan di wilayah itu.  Kehadiran pada peresmian Gedung anti Syiah juga adalah sikap arogan yang ditunjukkan Kepala Daerah pada aliran tertentu yang tidak dinyatakan terlarang oleh pemerintah pusat.

Rangkaian kejadian ini adalah bukti nyata bahwa intoleransi masih eksis di negeri ini. Dua contoh ini adalah puncak fenomena gunung es intoleransi di Indonesia. Kita harus sadar bahwa menguatnya sikap intoleran masyarakat dilatari oleh keberadaan faham radikal. Faham ini sudah merembes ke banyak sisi kehidupan masyarakat tanpa disadari dan punya posisi tawar kuat dari sisi sosial politik.

Fenomena itu juga didasari oleh prinsip bahwa membela pihak yang seagama adalah suatu kewajiban bagi umat (entah yang dibela itu benar atau salah). Serta tidak setia bahkan kemudian (sebagian bersikap) membenci umat lain (kafir) adalah sikap yang harus dilakukan.

Ini adalah tantangan kita semua. Tentu saja tidak semua umat bersikap intoleran. Masih banyak umat dan masyaakat kita bersikap toleran dan inklusif. Apa yang setidaknya harus dilakukan ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun