Kasus gagal bayar terhadap nasabah asuransi yang jatuh tempo, adalah sebuah kejahatan jika dipandang dalam konteks pidana. Wanprestasi jika dilihat dalam konteks perdata.
Bagaimana dalam perspektif manajemen risiko?
Ketika terjadi huru hara pada Asuransi X Y, dan juga gagal bayar pada lembaga jasa keuangan non bank (LJKNB), maka ada gugatan gugatan sosial yang diarahkan juga kepada Otoritas Jasa Keuangan. Bukan sekedar dalam konteks masalah break the law. atau perbuatan melawan hukum.
Apakah karena OJK lengah atau kurang ketat dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap LJKNB?
Entitas organisasi, fungsi, atau komite apa yang sebenarnya lebih bertanggung jawab terhadap risiko kejadian gagal bayar atau gagal investasi tersebut?
Merespon kondisi yang memang perlu adanya peningkatan pengawasan, maka diterbitkanlah Peraturan OJK No. 28 Tahun 2020 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Lembaga Jasa Keuangan Nonbank.
Pada intinya tersebab untuk meningkatkan efektivitas pengawasan, sebagai bagian dari program reformasi pengawasan dan harmonisasi dengan sektor keuangan lain, khususnya perbankan, maka diubahlah tata cara menilai kesehatan yang sebelumnya adalah "Penilaian Tingkat Risiko" menjadi lebih fokus kepada "Penilaian Tingkat Kesehatan".
Khususnya untuk tata kelola, Peraturan OJK No. 28 Tahun 2020 merupakan pengganti dari regulasi terdahulu yakni POJK No. 10/2014 tentang Penilaian Tingkat Risiko LJKNB.
Selain itu, acuannya penilaian tingkat kesehatan Perusahaan Asuransi juga merujuk kepada Peraturan OJK No. 44 tahun 2020 dan Surat Edaran OJK NO. 28 Tahun 2020 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi LJKNB.
Penilaian tingkat kesehatan Asuransi baik secara individu maupun konsolidasi, dilakukan dengan cakupan penilaian faktor-faktor sebagai berikut: