Ada pemandangan yang khas selama Ramadhan namun sebagian telah hilang. Karena hilang maka justru menjadi semakin dirindukan. Apakah rindu Ramadhan itu sendiri atau rindu kekhasannya kadang juga bisa bimbang. Kalau rindu Ramadhan yang spiritual ya pasti ke masalah ibadah. Namun kalau rindu Ramadhan yang khas rasanya memang ada masa kecil Ramadhan yang tidak mungkin terulang lagi.
Rindu yang bisa bertemu rindu yang bagaikan pungguk merindukan bulan. Hanya romantisme yang muncul dan air mata bisa menetes karena sebuah kesadaran bahwa masa kecil sudah lewat masa indah bermain sudah tamat. Hanya memandang kehidupan semoga semua anak cucu kelak sehat selamat hingga benar-benar dunia ini kiamat. Merindu Ramadhan, merindukan khasnya masa lalu yang semakin hilang.
(1) Pawai oncor keliling kampung.
Oncor adalah lampu minyak tanah dengan bambu sebagai tabungnya. Di atas uncak bambu, ada sulur kain sebagai tempat api dinyalakan. Pada tahun 1980-an, dan era sekitar 1970-an, saya masih ingat kalau habis taraweh kami akan keliling kampung sambil bertakbir. Namanya juga anak-anak, suaranya pating jempling alias sahut menyahut tidak kompak. Namun dari kejauhan, saat ini terasa indah dibayangkan.
Lantas biasanya jika sudah mulai pukul 21-an, sebagian anak pulang sebagian anak kembali ke masjid untuk tadarusan. Yang tadarusan biasanya yang punyalatar belakang santri atau keluarga pak kaum pimpinan agama di desa. Puncaknya adalah pawai oncor di malam takbiran sebelum lebaran.
Era pandemi telah mematahkan ini semua. Tidak ada lagi yang berani keliling kampung atau membawa oncor ke sana kemari. Zaman juga semakin berubah, anak-anak larut dalam games online atau interaksi maya lainnya.
"Ayo japri-japrian yoo...."teriak anak di era 2021 ini di sekitar saya perumahan kota di Gresik Jawa Timur.
Hmm... begitu ya nak... kalian sudah tidak berjaman lagi dengan jalan keliling kampung namun berganti dengan "always connected", batin saya.
Dunia semakin berubah.