Mohon tunggu...
Dahrun Usman
Dahrun Usman Mohon Tunggu...

Manuisa sederhana yang punya niat, usaha dan kemauan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Menanti Komedi Putar

27 Juli 2017   11:58 Diperbarui: 29 Juli 2017   21:48 1461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.antarafoto.com

Saya termenung sendiri di balai rumah kontrakan yang sederhana. Diam-diam walaupun sederhana dan apa adanya, saya tetap bangga karena bisa memberi perlindungan dari panas dan hujan pada anak dan istri. Mereka berdua sudah terlelap di kamar. Jujur saya bersyukur pada Tuhan. Walaupun gaji sebagai guru honorer jauh dari cukup tetapi dengan berbagai upaya setiap bulan saya bisa bayar kontrakan rumah dengan mengojek di waktu libur, menulis artikel, cerpen, dan loper koran. Honor tersebut bisa menutup lubang hutang yang selalu menganga pada tengah bulan.

Saya berpikir. Wah, semua hidupku dikepung dengan hutang. Kontrakan rumah, perabotan kredit, baju kredit, televisi kredit, dan buku-buku yang ada di rak juga hasil kreditan. Tetapi saya tetap besar hati, sebab selama ini semua utang saya bisa dibayarkan tepat waktu.

Saya kembali melongok kamar tidur saya. Tampak istri dan anak saya sudah pulas merengkuh mimpi. Tampak ketenangan dalam guratan wajah istri saya. Walaupun hidup serba kekurangan dia selalu menerima dan mengerti akan usaha-usaha saya selama ini. Sedangkan anak saya terlihat tidur dengan dahi yang mengerut. Ada semacam getaran dalam desahan nafas tidurnya yang ditujukan pada bapaknya.

Pelan-pelan saya cium dahi dan pipinya dengan penuh kasih sayang. Saya berbisik, "Maaf sayang, bapak belum bisa membayar hutang padamu!" Kemudian saya ke luar lagi menuju balai rumah kontrakan. Hujan rintik menambah kesunyian malam, kabut tebal datang menghampiri beranda rumah tapi kemudian berlalu entah ke mana rimbanya.

Saya menghela nafas panjang. Bertahun-tahun saya selalu bisa membayar utang kepada siapapun. Tetapi sampai saat ini saya masih belum bisa membayar utang kepada anak saya sendiri. Ya. Sebenarnya hutangnya sangat sederhana. Anak saya meminta saya untuk naik komidi putar. Semua itu berawal ketika suatu hari Prihatin nama anak saya menonton anak-anak beserta bapak ibunya naik komidi putar di Ancol pada acara jalan-jalan di sebuah stasiun TV swasta. Entah kenapa ibu mertua saya memberikan nama cucunya Prihatin. 

Mungkin beliau mengharapkan agar anak saya bisa hidup prihatin melihat kedua orang tuanya yang serba kekurangan. Ada hikmahnya memang dari do'a dan nama anak. Anak saya selalu menurut kalau dinasihati, terutama kalau berkaitan dengan permintaan yang harus mengeluarkan biaya.

Siang hari ini saya mendapat berita gembira karena besok malam minggu di lapangan dekat rumah kontrakan akan ada pasar malam. Tentu kocek saya lebih cocok naik komidi putar kelas pasar malam, bukan kelas Dunia Fantasi di Ancol. Berita ini saya sampaikan pada anak istri saya. Wah. Prihatin berjingkrak sangat senang, tanda penantian bertahun-tahun akan segera terwujud.

Menjelang isya, saya, istri dan anak saya sudah berada di lokasi pasar malam. Suasana sangat ramai dan meriah, tentu fokus utama saya adalah komedi putar sesuai dengan janji pada anak. Komedi putar berada di tengah-tengah arena pasar malam sehingga tidak sulit untuk menemukannya. Tetapi untuk menaikinya, butuh kesabaran karena harus antre bergantian dengan calon penumpang lainnya. Maklum, pasar malam seperti ini menjadi menu yang sangat bergizi untuk mengisi kepenatan bagi keluarga kusam macam saya. Sehingga setiap malam minggu pengunjung pasar malam selalu bejibun.

Prihatin terus merengek tidak sabar ingin segera naik. Bagi anak sekecil dia memang belum mengerti apa arti budaya mengantri, yang dia lihat dan inginkan harus segera terpenuhi. Tidak perduli dengan antrean di belakang maupun di depan. Bukankah sebagian dari kita juga begitu?"pikir saya dalam hati. Ya. Bukankah demi karir, jabatan, dan kemegahan banyak orang yang tidak sabar menunggu antrian? Sehingga kasak-kusuk, suap, dukun dan paranormal pun dipakai untuk mempercepat antriannya. Tidak sadar bahwa tindakan seperti itu merugikan orang lain dan dirinya sendiri, sebab mengabaikan aspek keadilan, kejujuran dan tentunya keberkahan. Tetapi saya segera menepis pikiran seperti itu. Ah. Tidak baik berburuk sangka.

Akhirnya saya, istri dan anak sampai pada giliran naik komidi putar. Prihatin terlihat sangat bahagia bisa naik komedi putar seperti di TV. Sementara istri saya tidak kalah bahagia melihat buah hatinya riang gembira. Sementara saya mencoba untuk mengimbangi kebahagian mereka berdua dengan senyum dan gurauan getir. Anak dan istri saya tidak tahu, kalau uang yang saya pakai malam minggu ini adalah hasil kasbon dari bendahara sekolah. Maklum dana BOS semester pertama tahun ini belum cair, sehingga gaji bulanan juga ikut membeku. Maka, kasbon adalah jalan satu-satunya untuk ke luar dari himpitan ekonomi yang semakin mencekik leher dapur istri saya.

Terbayang oleh saya, kasbon saya jauh lebih gemuk daripada nominal gaji saya pada setiap akhir semester. Minus itu pasti. Bahkan istri kadang berseloroh, "Bapak, kok gak ada bedanya antara mata dan gaji?! Dua-duanya minus?" Saya hanya tersenyum pahit. Tapi bagi guru honorer seperti saya, dan yang lainnya di negeri ini, hal itu sudah menjadi nasib yang harus diterima dengan lapang dada. Saya kadang berpikir. Sampai kapan saya mempertahankan idealisme seorang guru? Padahal saya memegang predikat sebagai guru honorer berprestasi tingkat nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun