Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Batima, Ketika Matematika Dituangkan Menjadi Motif Batik

24 Mei 2018   21:02 Diperbarui: 25 Mei 2018   20:31 3094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batik matematika (dok pri)

Pada umumnya, kain batik bermotif flora (tetumbuhan) maupun fauna (hewan). Kadang kala juga dapat berupa simbol alam atau pola geometris. Nah kali ini kita akan menyoal batik matematika atau batima, yakni batik dengan simbol matematika maupun pola-pola dalam matematika.

Matematika adalah bahasa

"Mbah, beli kentang 1 Kg, cabai keriting seperempat Kg, tomat setengah Kg."

Dengan takzim mbah penjual menerima pembayaran 1 lembar uang seratusan ribu rupiah. Ia lalu menyiapkan kembalian dan mengulurkannya seraya berujar, "Terima kasih, lain kali belanja di sini lagi ya, Bu."

Neng Mercy mencorat-coret kertasnya dengan dahi berkerut. Undangan 500 pasang, mari beri ruang tetamu tak terduga 15%, 45% tetamu menghampiri meja sajian buffet, bla bla bla. Menurut teori, setiap kilo beras cukup untuk sekian tetamu. Berapa beras yang harus disediakan? Walah repot amat dapat tugas katering.

Sambil mengelap keringat, Lik Tarni membagikan panenan jeruk dari bakul yang digendongnya kepada 3 keponakan, masing-masing mendapat bagian 8 butir dan masih tersisa 6 butir. "Wuut blaik", berarti ada yang terjatuh di kebun nih. Lah memangnya tadi panenan jeruk yang dimasukkan ke dalam bakul berapa sih, Lik?

Terasa kan bahwa sederhananya matematika adalah bahasa keseharian. Kalau bahasa verbal terdiri dari susunan huruf. Sedangkan bahasa matematika tersusun oleh simbol angka maupun model operasional mulai dari yang paling sederhana tambah (+), kurang (-), kali (x), bagi (:) hingga operasional yang lebih rumit.

Nah, kalau bahasa seperti model percakapan, mengapa ya matematika sering menjadi momok? Atau sebaliknya seseorang yang jago ilmu matematika, dianggap lebih wah dibanding siswa yang berprestasi di bidang tari misalnya. Bukankah semua pengetahuan bersinergi untuk upaya memanusiakan manusia?

Bukankah matematika juga berangkat dari guratan atau torehan sederhana tanda mirip pagar sederhana yang sering digunakan dalam pemilihan ketua RT. Bila kini mesin operasionalnya bergeser dari simpoa, kalkulator hingga program yang lebih canggih, tetap saja gunanya untuk menyederhanakan operasional.

Batik Matematika, desain komunikasi visual
Melihat pajangan batik unik di pameran UKM, saya tertarik mendekat. Petugasnya mbak mas yang sedang menuntut ilmu di bidang sains matematika. Mereka menjelaskan ini upaya menyajikan visualisasi simbol matematika dalam batik. Upaya untuk memasyarakatkan matematika agar tidak menjadi momok.

Batik matematika alias batima (dok pri)
Batik matematika alias batima (dok pri)
Ada bangun sederhana dengan rumus-rumusnya. Ada fungsi dengan tampilan Eyang Einstein E= m c (kuadrat) hingga model cacing deferensial integral. Eits ada pula kurva cantik dengan bangun ruang yang menawan.

Batik juga bahasa. Seseorang yang sedang menggunakan batik pola truntum di daerah Jawa, sebagai penanda bahwa beliau sedang mantu, menikahkan putera/i beliau. Bertahun lalu saya pernah malu mendapat teguran, lah belum mantu koq berani mengenakan batik pola truntum. Sehelai batik adalah secarik pesan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun