Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Marah" dan "Tonjokan" dalam Bingkai Sukacita Syukur

20 Februari 2018   09:47 Diperbarui: 20 Februari 2018   11:14 1648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepasang Larablanya (sumber: senopatiwave.blogspot.co.id)

Mengapa menyoal marah dan tonjokan di suasana yang mestinya menebar damai dan sukacita? Tenang....yang akan ditelisik adalah nostalgia 'marah' dan 'tonjokan' dalam bingkai sukacita syukur. Terungkit oleh obrolan dalam WA grup keluarga, saling berbagi khabar termasuk tumpukan undangan menghadiri hajatan pernikahan dan 'tonjokan' penyertanya.

Sukacita Syukur  Perhelatan Pernikahan

Sukacita peristiwa pernikahan rasanya bersifat universal. Latar belakang budaya ikut mewarnai gelaran perhelatan pernikahan. Semisal, dalam budaya Jawa peristiwa menikahkan anak adalah bagian dari dharma agung orang tua. Istilah 'ngentasaken' mengentaskan, mantu eh yang 'dieman-eman metu' yang bermakna yang sangat berharga yaitu buah hati akhirnya keluar dari rumah membentuk keluarga baru, hingga 'pawiwahan agung' suatu acara resepsi peresmian. Setiap istilah yang digunakan mengandung makna sukacita syukur, peristiwa yang disakralkan agung yang setiap pernik tahapannya dirancang dengan kesungguhan.

Perkembangan zaman, resepsi dan upacara pernikahan now berbeda dengan pernikahan zaman old, dalam hal skala dan kemasannya. Keribetan bisa dikurangi dengan adanya wedding organizer (EO). Teba cakupan atau skala pawiwahan bisa dimelarciutkan mulai dari skala keluarga inti hingga pesta akbar. Namun esensi dasar sukacita syukur rasanya tetap menjadi dasarnya

Marah

Marah? Apapula ini, mengapa dalam sukacita syukur ada pasal marah? Setelah melalui serangkaian panjang persiapan, beberapa hari menjelang hari H, keluarga yang hamengku gati mantu menyelenggarakan rapat panitia lengkap yang lazim disebut dengan kumbokarnan. Tahapan ini menunjukkan persiapan sudah kelar dan tinggal action sekaligus check dan recheck akhir.

Salah satu petugas kunci adalah petugas 'marah' beliau menjadi duta keluarga untuk menyampaikan undangan lisan atau warahan alias wara-wara kepada calon tetamu. Mari kita pahami dengan kacamata pandang pada zamannya ya.  Teba wilayah tugas meliputi beberapa RT sekitar tempat tinggal keluarga yang mantu. Lumayan luas loh, semisal satu RT terdiri dari 40-50 KK, kalau 4 RT saja berarti petugas harus sowan ke 160-200 KK.

Waktu kunjungannya juga khas jarang di pagi hari dengan pertimbangan yang akan diberitahu juga sedang bekerja entah di ladang/sawah, pasar ataupun kantor. Biasanya petugas datang jelang Ashar, atau jelang Mahgrib. Waktu kecil saya sering membukakan pintu dan menerima salam beliau petugas. Bergegas melapor kepada Ibu atau Bapak, 'ada tamu Kang/Mas/Lik Anu nampaknya hendak 'marah'

Cara duduk/bahasa tubuh bahkan bahasa yang digunakan selalu khas. Sikap hormat, tidak terlihat terburu namun juga bukan hendak bertamu lama. Urutan kalimat juga hampir pakem, mulai dari ucapan salam, maksud silaturahmi hingga berita utama, yang ringkasnya 'saya selaku duta keluarga bapak ibu yang punya hajat memohon doa restu yang diundang untuk acara pernikahan putra/putrinya pada hari jam tempat, serta memohon kehadirannya untuk memberikan doa dan restu secara langsung'. 

Jawaban Bapak/Ibu juga hampir pakem, tanggapan salam, mohon disampaikan kepada pengundang kami tersanjung diundang dan mendukung doa agar pelaksanaan acara lancar, dan akan hadir bila tidak ada aral melintang.

Loh koq harus didatangi secara langsung, apakah para tetangga tidak mengetahui berita pernikahan ini? Tentunya para tetangga sudah mengetahui, bukankah informasi begitu cepat tersebar. Acara 'marah' adalah wujud kerendahhatian sang empunya kerja mantu, keterbatasannya tidak bisa datang ke masing-masing tetangga sehingga mengirim utusan. Juga pengakuan penghormatan kepada para calon tetamu untuk memohon dukungan doa restu. Karena 'marah' menyampaikan berita lisan, maka harus ketemu langsung dengan yang diundang, bisa bapak, ibu atau anggota keluarga yang dianggap sudah mampu bertanggungjawab menerima 'warahan' atau 'wara-wara' dan menyampaikan kepada orangtua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun