Â
Nepotisme adalah praktik yang sering menimbulkan polemik dalam ranah sosial, politik, dan ekonomi. Secara sederhana, nepotisme merujuk pada pemberian keistimewaan kepada keluarga atau teman dekat dalam perekrutan, promosi, atau penempatan posisi tertentu, tanpa mengutamakan kualifikasi yang relevan. Dari sisi keadilan, nepotisme jelas melanggar prinsip meritokrasi karena peluang kerja dan jabatan seharusnya diberikan berdasarkan kemampuan. Namun, ada pandangan yang berusaha membela nepotisme dengan alasan efisiensi. Misalnya, pemilik bisnis yang menunjuk anggota keluarganya untuk posisi manajerial menganggap bahwa mereka lebih bisa dipercaya, loyal, dan menjaga kerahasiaan. Di sinilah muncul perdebatan besar antara efisiensi dan keadilan. Apakah efisiensi yang didorong oleh kepercayaan pribadi dapat membenarkan praktik yang berpotensi mengorbankan hak orang lain? Ataukah keadilan harus menjadi prinsip utama meskipun proses seleksi yang adil seringkali lebih panjang dan mahal?
Dari perspektif keadilan, nepotisme menimbulkan diskriminasi karena mengabaikan kemampuan dan kualifikasi orang lain. Praktik ini jelas melanggar prinsip meritokrasi, yaitu sistem yang menempatkan seseorang berdasarkan prestasi, keterampilan, dan dedikasi. Jika jabatan penting hanya diberikan kepada keluarga atau teman, maka individu yang sebenarnya lebih cakap bisa tersingkir hanya karena tidak memiliki hubungan dekat dengan penguasa atau pemilik perusahaan. Hal ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menggerus rasa keadilan sosial dalam masyarakat. Contoh nyata dapat kita lihat pada birokrasi pemerintahan yang sarat nepotisme, di mana jabatan publik tidak lagi menjadi sarana pengabdian, melainkan warisan keluarga. Ketidakadilan semacam ini seringkali menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara. Oleh karena itu, dari sudut pandang moral dan etis, keadilan harus ditempatkan di atas efisiensi semu yang ditawarkan nepotisme.
Meski demikian, argumen efisiensi juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam dunia usaha, beberapa pemilik perusahaan berpendapat bahwa melibatkan anggota keluarga lebih cepat dan praktis dibandingkan melakukan rekrutmen terbuka. Mereka berasumsi bahwa orang-orang dekat lebih bisa dipercaya, sehingga mengurangi biaya pengawasan dan risiko pengkhianatan. Di samping itu, proses seleksi terbuka memang memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Dalam konteks ini, nepotisme dianggap sebagai jalan pintas untuk mencapai efisiensi organisasi. Namun, efisiensi yang diperoleh melalui nepotisme seringkali hanya bersifat jangka pendek. Dalam jangka panjang, perusahaan atau lembaga bisa mengalami kemunduran karena mengabaikan potensi besar dari orang-orang berkualitas yang tersisih. Dengan kata lain, efisiensi yang didapat bukanlah efisiensi sejati, melainkan ilusi yang menutupi kerugian struktural di masa depan.
Nepotisme juga membawa dampak negatif pada budaya kerja. Lingkungan kerja yang dibangun atas dasar hubungan keluarga atau persahabatan cenderung melahirkan rasa tidak adil di kalangan karyawan lain. Mereka yang merasa dirugikan akibat praktik nepotisme biasanya kehilangan motivasi untuk bekerja maksimal, karena merasa usaha mereka tidak dihargai. Dalam jangka panjang, produktivitas dan inovasi justru menurun. Bahkan, konflik internal bisa muncul ketika keputusan organisasi lebih banyak didorong oleh hubungan pribadi ketimbang pertimbangan profesional. Hal ini membuktikan bahwa nepotisme tidak hanya merugikan individu yang tersingkir, tetapi juga menghambat perkembangan organisasi secara keseluruhan. Efisiensi yang semula menjadi alasan justifikasi akhirnya berbalik menjadi inefisiensi karena menimbulkan biaya sosial berupa ketidakpuasan, rendahnya moral kerja, hingga meningkatnya angka turnover karyawan yang merasa tidak diperlakukan dengan adil.
Dalam ranah politik, dilema antara efisiensi dan keadilan semakin nyata. Nepotisme politik sering dibenarkan dengan alasan bahwa keluarga atau pendukung politik lebih mudah diajak bekerja sama, sehingga roda pemerintahan berjalan lebih cepat. Namun, praktik semacam ini kerap menghasilkan pemerintahan yang lemah karena tidak dikelola oleh orang-orang terbaik, melainkan oleh mereka yang sekadar memiliki hubungan pribadi dengan pemimpin. Keadilan publik menjadi terabaikan, sementara kepentingan rakyat banyak dikorbankan demi kepentingan kelompok kecil. Lebih jauh lagi, nepotisme politik menurunkan kualitas demokrasi karena menghambat sirkulasi elite yang seharusnya terbuka. Akibatnya, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem pemerintahan dan berpotensi melahirkan sikap apatis. Efisiensi yang dikejar dengan nepotisme dalam politik pada akhirnya merusak legitimasi negara, yang justru akan lebih sulit diperbaiki dalam jangka panjang.
Jika dilihat dari dua sisi ini, jelas bahwa konflik antara efisiensi dan keadilan dalam praktik nepotisme tidak dapat diabaikan. Efisiensi yang dihasilkan nepotisme seringkali hanya bersifat praktis dan sementara, sedangkan kerugian akibat hilangnya keadilan jauh lebih besar dan berdampak panjang. Masyarakat yang terbiasa dengan nepotisme akan kehilangan semangat berkompetisi, karena peluang tidak lagi ditentukan oleh usaha dan prestasi. Sebaliknya, mereka yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa atau pemilik perusahaan akan terus diuntungkan meskipun tidak memiliki kualifikasi memadai. Hal ini menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar, serta melemahkan struktur institusi baik di sektor publik maupun swasta. Oleh karena itu, meskipun efisiensi seringkali dijadikan alasan, praktik nepotisme lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, terutama jika kita melihat dari perspektif keberlanjutan dan kesejahteraan bersama.
Sebagai penutup, perdebatan tentang efisiensi versus keadilan dalam nepotisme seharusnya diarahkan pada pencarian keseimbangan. Efisiensi memang penting untuk mempercepat proses kerja dan pengambilan keputusan, tetapi keadilan adalah fondasi utama agar sistem tetap sehat dan berkelanjutan. Tanpa keadilan, efisiensi akan kehilangan makna karena hanya menguntungkan segelintir orang, sementara mayoritas merasa dirugikan. Oleh karena itu, perlu ada regulasi yang ketat dan transparansi dalam proses rekrutmen maupun promosi, baik di sektor swasta maupun publik. Meritokrasi harus ditegakkan sebagai prinsip dasar agar setiap individu mendapat kesempatan yang setara sesuai kompetensi. Dengan demikian, organisasi atau pemerintahan tidak hanya berjalan efisien, tetapi juga adil. Hanya melalui kombinasi keduanya, efisiensi dan keadilan, kita bisa membangun sistem yang berdaya saing tinggi sekaligus mampu menjaga kepercayaan masyarakat dalam jangka panjang.
Referensi : https://pojokjakarta.com/2023/10/31/pengertian-nepotisme-ciri-jenis-dan-contohnya/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI