Hari minggu mulai beranjak siang. Mentari perlahan tapi pasti kian merayap tinggi. Pekerjaan rumah yang menjadi tugas saya sebagai ratu di rumah sudah mulai berkurang. Tak bisa berpaling dari kodrat sebagai perempuan yang menjadi ibu rumah tangga. Sepertinya pekerjaan rumah tidak pernah usai. Dari semenjak bangun tidur hingga mau tidur lagi.Â
Semakin lengkap repotnya ketika seperti saat ini, setelah berlebaran asisten rumah tangga belum mulai bekerja dengan berbagai alasan. Sudah tentu pekerjaan rumah berjibun.. So, tidak masalah toh ART fungsinya hanya sekedar membantu saja.Â
Tak terlalu ambil pusing,,saya tetap menikmati pekerjaan rumah tanpa kehadiran ART. Insya Allah, sebanyak apapun pekerjaannya, seberat apapun tugasnya ketika mengerjakannya dengan hati dilandasi cinta kasih semuanya menjadi ringan dan tentunya atas izin Allah bisa terselesaikan.
Di saat jeda untuk istirahat sejenak setelah mencuci baju berkoper-koper di lantai dua, oleh-oleh mudik hehehe, saya ambil gawai yang sedari pagi belum saya sentuh. Saya mencari posisi duduk di depan teras rumah. Sayup-sayup terdengar bayi menangis tak henti-henti sepertinya hampir kehabisan suara.Â
Sesekali terdengar sang pengasuh membujuk untuk menenangkannya tetapi bayi itu tetap menangis. Mendengar jeritan tangisan bayi itu, hati ini luluh seperti teriris amat tersentuh.
 Saya tahu bayi yang nangis itu adalah tetangga depan rumah. Seorang bayi perempuan cantik yang malang. Usianya kini baru empat puluh hari namun ia tak akan bisa mengenali wajah ibunya. Tak bisa menikmati air susu ibunya yang lezat, menyehatkan bahkan akan menenangkannya. Takkan pernah merasakan hangatnya dekapan pelukan sang ibu. Ibunya telah menutup mata untuk selama-lamanya beberapa saat setelah melahirkan bayi cantik itu melalui operasi caesar.
Andai bayi cantik itu sudah mampu berbicara, mungkin ia akan mengatakan bahwa ia rindu ibunya, ia rindu dibelai halus tangan ibunya, haus akan air susu ibunya, rindu dipeluk erat ibunya, rindu dinina bobokan ibunya. Atau mungkin ia akan berkata,"Tuhan, mengapa Engkau telah memanggil ibuku, sebelum aku lihat wajahnya?"
Namun yang ada hanya jeritan tangisnya yang perlahan mulai melemah karena terlalu lelah. Susu formula menjadi obat penenangnya. Atau mungkin ibunya lebih rindu sehingga ikut menenangkannya dari alam keabadian. Wallahu'alam..Semoga akan turun tangan-tangan malaikat Allah  yang membantu membesarkannya, mendidiknya dengan penuh cinta kasih sehingga kelak menjadi anak yang shalihah..Aamiin..
Tangisan seorang bayi mungil nan cantik telah memberikan inspirasi buat saya. Bahwa kematian itu nyata. Kehilangan orang yang sangat dicintai itu pasti. Hanya amal kebaikan yang tidak akan hilang selamanya.Â
Saya bersyukur hingga saat ini masih merasakan kasih sayang ayah ibuku, dekapan mereka, menerima dan mendengarkan do'a-do'a mereka, serta masih bisa melihat senyuman mereka ketika saya datang berkunjung. Semoga Allah memberi kemuliaan di masa senja mereka.
Cirebon, 24062018