Mohon tunggu...
Novi Setyowati
Novi Setyowati Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengalaman Tak Lagi Membuat Saya Merasa Inferior dengan WNA

19 Januari 2021   12:56 Diperbarui: 19 Januari 2021   15:13 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah bercerita dari sisi yang berbeda, yang kerap kali tak terbantahkan oleh realita yang memang benar adanya. Sebut saja kemajuan bangsa-bangsa Eropa dalam sejarah yang berhasil menaklukkan bangsa-bangsa Asia dalam bentuk penjajahan. Dan kita pun mengalaminya. Meski perdagangan dan rempah-rempah disebut-sebut sebagai cikal-bakal dari perebutan kekuasaan ini, kenyataannya memang membuktikan kekuasaan penjajahan selama berabad-abad lamanya di negeri ini.

Tak heran jika pola pikir yang tertanam setelahnya adalah manusia dari bangsa-bangsa asing tersebut jauh lebih unggul daripada manusia-manusia bangsa kita. Pola pikir yang tertanam bahkan seolah-olah juga mengarah pada sikap yang "mengagung-agungkan" Warga Negara Asing (WNA) yang kita temui di negeri ini. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, kita sudah lumrah dengan julukan "bule" yang kita berikan pada setiap WNA yang lewat di jalanan atau wisatawan asing yang kita temui di negeri ini. Atau sekedar anak-anak kecil yang memanggil WNA dengan sebutan "Mister, Mister" saat mereka tidak sengaja bertemu. Kala itu bagi saya, tak terpikirkan ada hal yang janggal dengan sebutan itu. Anggap saja sebagai bentuk panggilan spesial untuk orang yang berbeda dari kita.

Tapi, ternyata tidak demikian dengan beberapa WNA yang pernah saya temui. Alih-alih bahagia dengan sebutan itu, mereka justru merasa terdiskriminasi karena dianggap berbeda, dan, ada juga yang merasa panggilan itu sebagai sebuah bullying. Hal ini saya sadari setelah saya berkesempatan untuk bekerja di salah satu instansi asing kala itu, dimana para WNA ini mengeluhkan akan panggilan "bule, bule" yang kerap kali mereka dengar di lingkungan tempat tinggal mereka. "Ah, masa sih?", pikir saya.

Saya tidak pernah benar-benar berpikir hal itu adalah sebuah masalah hingga saya mengalami hal serupa saat saya berkesempatan untuk melakukan studi di Jerman tiga tahun yang lalu. Pada saat itulah saya mengalami beberapa kejadian dimana orang lain memanggil-manggil saya dengan julukan serupa (tetapi kali ini lebih berarti "migran") dan, ya, saat itu pula saya langsung merasa tidak nyaman dengan pengalaman itu. "Tidak bisakah kita sebagai manusia mempunyai status yang sama hanya sebagai seorang manusia tanpa julukan apapun?", lanjut batin saya. Tapi saya juga memahami bahwa setiap bangsa mempunya sejarah dan budaya serta nilai-nilai yang berbeda, yang membuatnya memandang manusia lainnya dengan cara yang berbeda. Seperti halnya, WNA di Mata WNI umumnya dilihat lebih unggul. Lagi-lagi, faktor sejarah adalah yang paling utama.

Saya pun demikian, pada awalnya selalu merasa inferior jika berhadapan dengan WNA. Postur badan saya yang kecil saja sudah cukup membuat nyali ciut saat berhadapan dengan WNA. Alhasil, diri ini menjadi tidak percaya diri saat harus berhadapan dengan WNA.

Untungnya, hal ini tidak bertahan lama. Pengalaman bekerja di instansi asing dan bersekolah di Jerman tak lagi membuat saya merasa inferior jika harus berhadapan langsung dengan WNA. Kok bisa, sih?

Dokpri
Dokpri

Mengamati dari kegiatan yang sama

Nyali saya cukup ciut saat saya diminta untuk menyampaikan sebuah training di hadapan hampir 70 lebih WNA. Bayangan akan deretan pertanyaan yang tak akan bisa saya jawab atapun tatapan seolah "merendahkan" kemampuan saya terus berlarian di pikiran saya. Apalagi, dengan kemampuan bahasa inggris yang terbatas. Ada perasaan takut akan dicemooh karena sudah menggunakan tata bahasa yang kurang tepat. Tapi ternyata, nyali saya tak lagi ciut saat saya mendapati para peserta kegiatan ternyata tak jauh berbeda dengan yang sering saya jumpai di kelas dulu. Ada yang menyimak, ada yang tidak. Ada yang bahkan sampai tidur, ada yang tidak. Ada yang aktif bertanya, ada juga yang cuek-cuek saja. Ada yang selalu menguap, atau hanya sesekali menguap. Ada yang serius mengisi kuesioner, ada juga yang tidak. Ada yang percaya diri saat berpendapat, ada yang malu-malu dan ragu-ragu saat berpendapat. "Oh, jadi begini, ya", pikir saya setelahnya. Tak ada yang berbeda dengan perilaku mereka dengan banyak teman-teman saya di bangku sekolah dan bangku kuliah dulu. 

Hidup dan bersekolah di negara maju

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun