Novia Ramadani
12170521915
Efektivitas pelayanan dapat diartikan sebagai sejauh mana suatu pelayanan berhasil mencapai tujuan yang telah dirancang sebelumnya dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara maksimal dan tepat guna. Efektivitas diukur berdasarkan sejauh mana hasil layanan dapat memenuhi kebutuhan dan harapan penerima layanan (Suwandy, 2023). Â Menurut Djellal (dalam prakoso, 2015), pelayanan publik atau publik service merupakan hal yang penting untuk diperhatikan oleh pemerintah karena memenuhi kebutuhan banyak orang. Pelayanan harus dilakukan dengan baik karena yang menikmati pelayanan adalah seluruh wraga negara indonesia. Pendapat serupa disampaikan oleh Winarno Surachman (2022), yang menyatakan bahwa tujuan utama kesejahteraan sosial adalah menciptakan kondisi sejahtera bagi individu, kelompok, hingga masyarakat secara menyeluruh. Pelayanan di bidang ini mencakup beberapa aspek, seperti kesejahteraan anak, remaja, lansia, pelayanan publik, kesehatan mental, dan lainnya.
Menurut Richard M. Strees (dalam Suwandy, 2023), efektivitas dapat diukur dari sejauh mana tugas dan fungsi dapat dijalankan tanpa tekanan atau ketegangan. Dalam konteks pelayanan, efektivitas merujuk pada keberhasilan sebuah organisasi atau lembaga dalam menyediakan layanan yang sesuai dengan tujuan serta harapan pengguna. Ini mencakup indikator (1) produktivitas, yaitu mengacu pada kemampuan memberikan sejumlah layanan dalam rentang waktu tertentu. Â (2) Kualitas, yaitu menilai sejauh mana layanan mampu memenuhi kebutuhan dan harapan pegguna, layanan yang efektif harus memiliki standar kualitas tertentu yang dianggap bermanfaat oleh penerima layanan. Â (3) Efisiensi, yaitu mengukur penggunaan sumber daya, seperti waktu, tenaga, dan biaya, digunakan secara optomal dalam proses pelayanan. Dalam pelayanan yang efektif, pemanfaatan sumber daya harus diarahkan untuk menghasilkan manaaf maksimal.
Berdasakan berita yang diterbitkan oleh Riau Pos, keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) di berbagai persimpangan jalan utama di kota pekanbaru, seperti di dimpang SKA, Tobek Godang, dan area flyover SKA-Living Word, menjadi masalah yang meresahkan masyarkat. Para gepeng ini sering meminta-minta dengan berbagai cara, seperti mengenakan kostum badut, berpenampilan sebagai manusia silver, atau membawa anak-anak untuk menarik simpati. Hal ini dianggap menganggu ketertiban umum, memperlambat arus lalu lintas, dan berpotensi memicu tindakan kriminal. Kepala Dinas Sosial, Dr. H. Idrus, M.Ag., menyatakan bahwa pihaknya berkomitmen ntuk terus mengantisipasi dan menangani permasalahan sosial di masyarakat secara berkelanjutan.
Berdasakan berita yang diterbitkan oleh media center Pada Minggu 3 Maret, di Kota Pekanbaru, angka kemiskinan meningkat menjadi 3% meskipun tingkat pengangguran mengalami penurunan. Pj Walikota Pekanbaru, Muflihun, menekankan pentingnya pengembangan UMKM sebagai lankah strategis untuk menekan angka kemiskinan. Namun, pelaku UMKM masih menghadapi berbagai hambatan, seperti sulitnya akses ke modal dan pemasara, serta birokrasi yang rumit. Sementara itu, anggota DPRD Provinsi Riau, Ade Hartati Rahmat, mengungkapkan bahwa perlunya langkah konkret dalam pembinaan UMKM yang terintegrasi dengan solusi yang komprehensif terhadap berbagai persoala sosial dan ekonomi yang dihadapi masyarakat.
Berdasakan berita yang diterbitkan oleh Riau online Pada Rabu 24 Juli 2024, Sekretaris Daerah Kota Pekanbaru, Indra Pomi Nasution, mengungkapkan bahwa pemerataan pendidikan di pekanbaru masih menjadi tantangan yang signifikan. Salah satu persoalan utamanya adalah ketimpangan dalam akses dan kualitas pendidikan, terutama di kalangan keluaraga kurang mampu, serta perbedaan antara wilayah dan jenis sekolah, baik negeri maupun swasta. Walaupun angka partisipasi kasar (APK) dan partisipasi murni (APM) di jenjang SD dan SMP tergolong tinggi, pemerataan pendidika masih belum sepenuhnya terwujud. Selain itu, kendala dalam pelatihan kepala sekolah turut mempengaruhi peningkatan kompetensi tenaga pendidik.Â
Berdasarkan ketiga Masalah pelayanan bagi warga kurang mampu di Kota Pekanbaru mencakup beberapa isu utama yang saling berkaitan. Pertama, keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) dengan berbagai modus, seperti menggunakan kostum badut atau membawa ank-anak, tidak hanya menganggu ketertiban umum dan arus lalu lintas tetapi juga berpotensi memicu tindakan kriminal. Kedua, angka kemiskinan meningkat hingga 3%, meskipun tingkat pengangguran menurun, yang sebagaian besar disebabkan oleh kesulitan pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) dalam mengakses modal dan pasar, serta birokrasi yang rumit. Ketiga, pemerataan pendidikan masih menjadi tantangan serius, terutama bagi keluarga kurang mampu. Ketimpangan akses pendidikan antara sekolah negeri dan swasta, serta minimnya pelatihan bagi tenaga pendidik, turut menurunkan kualitas pendidikan di wilayah ini. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu meningkatkan upaya pemberdayaan memlalui pembinaan gepeng, memberikan kemudahan akses terhadap kredit usaha rakyat UMKM, menyederhanakan proses birokrasi, serta memperluas askes pendidikan yang berkualitas melalui program beasiswa dan pelatihan guru secara berkala. Kolaborasi yang erat anatar pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta sangat diperlukan untuk menviptakan solusi yang berkelanjutan dan menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA
Laras Olivia, 2024. Akses Dan Kualitas  Pendidikan Di  Pekanbaru Masih Rendah. Diakses Pada 27 November 2024, Dari Https://Www.Riauonline.Co.Id/Kota-Pekanbaru/Read/2024/07/24/Akses-Dan-Kualitas-Pendidikan-Di-Pekanbaru-Masih-Rendah