Malas Bukan Penyebab Kemiskinan
Belum lama ini salah satu surat kabar nasional berbahasa Inggris, Jakarta Post (JP), menyajikan opini mengenai "Understanding the Root Causes of Absolute Poverty" (13/8/2005). Terdapat suatu kalimat yang sangat "menggelitik" hati penulis sehingga penulis berkeinginan untuk dapat mengembangkan lebih jauh atau meresponnya dalam short essay ini.Â
Dalam opini tersebut, JP telah mengutip statement dari salah satu menteri dalam Kabinet SBY-Kala, yang secara utuh akan penulis sajikan sebagai berikut: "Coordinating Minister for People's Welfare Alwi Shihab stated during the closing ceremony of the Millennium Development Goals meeting last week that poor people lack the motivation to improve their lives".
Apakah betul orang miskin itu malas alias kurang motivasi? Apakah betul orang miskin itu tidak mau terlepas dari derita kemiskinannya? Yang terakhir adalah apakah betul (valid) atas pernyataan seorang menteri yang dikutip oleh JP tersebut?
Menjawab tiga pertanyaan diatas kiranya perlu menyikapinya dengan arif dan bijaksana, yaitu setidak-tidaknya kita dapat "melongok" terlebih dahulu kepada suatu pertanyaan-pertanyaan singkat seputar penyebab kemiskinan, seperti: kenapa demikian? Apa sebabnya (latar belakangnya)? Kenapa begitu? Kok bisa? Pertanyaan-pertanyaan ini kerap dikenal oleh development worker sebagai cause and effect analysis.
Melalui beberapa pertanyaan itulah kemungkinan dapat terungkap dasar atau sebab musabab atas terjadinya kemiskinan di suatu daerah atau terjadi di suatu community tertentu. Oleh sebab itu, tidaklah pantas seorang menteri, secara serta merta, mengeluarkan suatu statement yang malah tidak mencerminkan kecerdikannya dalam mengatasi suatu masalah sosial.
Beragamnya Penyebab Kemiskinan
Berangkat dari prolog tersebut, kiranya sungguh kemiskinan itu merupakan suatu persoalan yang sangat bersentuhan dengan segala aspek atau merupakan suatu persoalan struktural nan kompleks (Donny Gahral Adian, Kompas, 19/5/2005). Pelbagai variable, yang datang dari segenap penjuru, senantiasa turut mengitarinya.Â
Dari buruknya pelayanan birokrasi, kebijakan pemerintah (budget dan non budget) yang tidak pro poor, bad governance (high of corruption), minimnya sarana infrastruktur (jalan, transportasi, dll), rendahnya tingkat pendidikan, tidak memiliki lahan pertanian, rendahnya masyarakat mendapatkan akses atas jasa micro finance/kredit kecil, tidak adanya ketrampilan usaha, keterbatasnya akses atas informasi mengenai pasar/market, ketimpangan struktur social-cultural-gender, dll. Bahkan kemiskinan seperti yang ada dibeberapa negara di benua Afrika disebabkan oleh land-lock.
Mengetahui atas kondisi munculnya penyebab (latarbelakang) kemiskinan ini, maka sudah menjadi sine qua non terhadap penerapan strateginya yang tidak mengambil langkah one-size fits all alias satu cara untuk semua penyebab masalah (kemiskinan). Hal ini diusung karena melihat beberapa kasus kebijakan (aktual) pemerintah yang justru, hemat penulis, tidak akan optimal dalam mengurangi tingkat kemiskinan.Â
Seperti contoh kasus dalam kebijakan pemberian dan relokasi subsidi BBM serta kebijakan subsidi beras. Dua kebijakan ini kalo dikaitkan dengan penyebab kemiskinan, seperti miskin karena tidak punya lahan pertanian, miskin atas terbatasnya akses perkreditan dan terbatasnya atas informasi pasar (market), maka sudah dapat dikatakan kedua kebijakan tersebut tidaklah tepat.