Paska penetapan pemerintah yang menetapkan Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi terlarang dan segala penggunaan atribut dan simbol serta kegiatan organisasinya dianggap sebagai tindakan illegal dan merupakan aktifitas yang melanggar hukum. Tulisan saya "Pembubaran FPI dan Dilema Demokrasi" yang dimuat di media detik.com membahas tentang bagaimana demokrasi menerima kehadiran FPI sebagai sebuah kekuatan alternatif dalam penyelesaian persoalan bangsa paska reformasi tahun 1998, namun takdir demokrasi pula yang menolak kehadirannya karena praktek-praktek intoleran yang acapkali dilakukannya.
Padahal Pancasila jelas menolak praktek-praktek intoleransi dari siapapun dengan alasan apapun. Pancasila memandang bahwa kehidupan Republik ini dibatasi oleh hukum dan berbagai peraturan perundang-undangan. Pancasila hadir dalam konteks sumber dari segala sumber hukum walaupun Pancasila bukan merupakan dasar hukum. Jadi jika ada elemen bangsa berniat melanggar hukum maka ia akan berbenturan dengan Pancasila sebagai benteng pertama.
Hingga saat ini masih banyak tulisan di berbagai media online mengupas langkah pemerintah melarang FPI. Beragam kritik bermunculan atas langkah pemerintah yang dianggap kurang tepat dan malah justru semena-mena perlakukannya terhadap praktek penegakkan hukum. Bukankah proses pembubaran atau pelarangan sebuah organisasi harus melalui proses pengadilan? Hanya pengadilan yang punya otoritas menyatakan ormas itu sah atau terlarang, bubar atau tetap eksis, bukan keputusan pemerintah secara sepihak.
Ada juga yang melihat bahwa larangan ini sebagai bentuk kembalinya otoritarian menujukkan wajahnya yang buas dan bringas. Bahkan terdapat juga alasan yang terkesan klise yaitu bahwa tekanan dunia internasional yang kapitalistik memaksa Pemerintah Indonesaia mengambil langkah menghukum FPI. Apa pun alasan yang diberikan patut dihormati dan dipandang sebagai kemampuan masyarakat bernalar kritis dalam mencermati persoalan-persoalan sosial politik yang ada.
Diskursus Publik
Persoalan larangan dan pembubaran ormas FPI tampaknya menjadi peristiwa politik yang tetap hangat sepanjang tahun 2021. Pemberitaan ini sehangat urusan penggunaan vaksin corona sinovac. Paling tidak ada beberapa alasan mengapa pemberitaan tentang larangan dan pembubaran ormas PFI tetap hangat dan menjadi diskursus publik.Â
Pertama, diskursus publik tentang FPI tidak mendapat larangan seperti larangan terhadap aktifitas dan penggunaan logo dan simbol FPI. Diduga pemerintah melalui Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) akan terus memantau gerakan-gerakan yang berafiliasi dengan FPI. Salah satunya adalah memblokir atau membekukan 59 rekening organisasi yang terkait dengan FPI. Uang dalam 59 rekening itu berjumlah ratusan juta rupiah.
Kedua, Pimpinan FPI masih dalam proses hukum. Status hukum sebagai tersangka digugat oleh para pengacara FPI dengan mengambil langkah hukum praperadilan. Sekiranya pengadilan mengatakan bahwa penangkapan Rizieq Shibab tidak sah maka status tersangka bisa saja gugur dan kemungkinan untuk bebas terbuka lebar. Celah hukum seperti inilah yang menjadi bidikan para pembela FPI agar pimpinan mereka dapat bebas, setidak-tidaknya menjadi tahanan kota.
Ketiga, ada kemungkinan para simpatisan dan loyalitas FPI tidak selalu linear dengan simpatisan dan loyalitas Rizieq Shibab. Mereka melihat FPI sebagai organisasi yang berjuang di jalan Tuhan dan untuk itu harus ditempuh dengan jalan dan cara-cara militan dan tidak kompromi terhadap apapun termasuk bernarasi kasar dan tidak patut di ruang publik. Disisi lain ada potret pendukung yang menilai kurang tepat diksi-diksi yang digunakan oleh pemimpin gerakan mereka sehingga menempatkan FPI dalam posisi sulit dalam konteks penerimaan masyarakat, khususnya masyarakat Islam. Terkait ini sangat menarik jika dilakukan penelitian sosial untuk memahami lebih dalam.
Keempat, ormas pengganti dan penerus FPI tetap mendapat label atau stigma negatif sebagai ormas yang suka marah dan memukul, alih-alih ramah dan merangkul. Label atau stigma adalah persoalan citra yang tidak mudah untuk mengubahnya.
Konflik Sosial