Dalam beberapa bulan terakhir, jagat media sosial di Indonesia diramaikan dengan fenomena padel, olahraga mirip tenis yang dimainkan di lapangan lebih kecil dengan dinding kaca. Lapangan padel bermunculan cepat di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Bali. TikTok, Instagram, hingga X (Twitter) dipenuhi video influencer dan artis yang memamerkan aktivitas mereka bermain padel.
Padel bukan olahraga baru di dunia. Ia lahir di Meksiko pada 1969, lalu berkembang pesat di Spanyol hingga menjadi olahraga kedua terpopuler setelah sepak bola. Indonesia baru mengenal padel sekitar 2022, tetapi dalam dua tahun, lapangan padel menjamur di pusat kebugaran premium dan kawasan elit.
Sosiolog Thorstein Veblen menyebut fenomena ini sebagai conspicuous consumption---konsumsi pamer. Bermain padel bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga identitas. Video "main padel sore di SCBD" bukan sekadar dokumentasi, melainkan pernyataan: saya bagian dari kelas urban global
Sementara padel tumbuh, lapangan kerja semakin krisis. Data BPS (2024):
Pengangguran muda (15--24 tahun) mencapai 16,2% (BPS, Februari 2024).
Lebih dari 60% pekerja masih berada di sektor informal (BPS, Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia 2023).
Bank Dunia (2023) mencatat sekitar 40% lulusan universitas bekerja tidak sesuai jurusan.
Setiap tahun ada 2,5 juta angkatan kerja baru, tapi pertumbuhan lapangan kerja formal tidak sebanding. Akibatnya, lulusan baru terpaksa masuk ke sektor pekerjaan informal atau menerima upah rendah.
Dalam perspektif Marx, kondisi ini menciptakan alienasi: pekerja terjebak dalam pekerjaan rendah nilai, sementara kelas menengah-atas menikmati surplus gaya hidup.
Demam padel di Indonesia bukan sekadar tren olahraga. Ia adalah cermin paradoks sosial-ekonomi: hiburan elit tumbuh, sementara lapangan pekerjaan stagnan.