Mohon tunggu...
Nor Qomariyah
Nor Qomariyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar stakeholder engagement, safeguard dan pegiat CSR

Senang melakukan kegiatan positif

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

My GFS: Seni Mengelola Pertanian-Pekarangan dan Investasi Sosial-Inklusif dengan Framework ESG di Industri Pertambangan

30 Oktober 2023   14:25 Diperbarui: 1 November 2023   11:00 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Pertanian dan Pekarangan. (Sumber: Shutterstock/AHatmaker via kompas.com) 

Kebutuhan pangan  menjadi kebutuhan utama manusia di seluruh dunia. Pangan selalu menjadi isu yang menempati prioritas utama dalam pembangunan ekonomi nasional, yang hingga kini masih relevan dalam memenuhi Hak Azasi Manusia (HAM), pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan pilar ketahanan nasional.

Sektor pangan, juga menjadi sektor penentu dari ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang mayoritas bekerja di on-farm dan wilayah pedesaan. 

Pertanian menjadi pilihan masyarakat dengan ketersediaan lahan dan merupakan ciri khas negara agraris. Tak hanya bagi masyarakat desa, penentuan pangan sebagai ukuran kesejahteraan juga berada dalam masyarakat kota, dimana konsumsi terbesar yang dikeluarkan dari pendapatan adalah pemenuhan pangan.

Kisah tentang ketahanan pangan, mengusik banyak cerita tentang petani di Indonesia. Tercatat hingga Februari 2023, jumlah petani dan tenaga kerja di sektor pertanian sebanyak 40,69 juta orang (BPS, 2023). 

Sektor yang cukup besar dalam penyerapan tenaga kerja. Sayang, besarnya potensi ini tak sebanding dengan menurunnya jumlah 'profesi petani' dimana didominasi oleh masyarakat dengan usai yang tak lagi muda. 

Sehingga berdasarkan Susenas 2022 (mediaindonesia.com.2023), hal tersebut memicu angka kemiskinan pedesaan mencapai 12,36%, lebih tinggi dibandingkan wilayah perkotaan 7,53%. Begitu juga dengan indeks keparahan tingkat kemiskinan di pedesaan juga tinggi, 0,536 dibandingkan di perkotaan yang hanya 0,264.

Ngatminah, petani perempuan dari Rembang Jawa Tengah, punya cerita yang menarik, bukan cerita soal pendapatan yang terus melonjak, tapi Ngatminah justru cemas karena tidak satupun anaknya tertarik dunia yang ia geluti. 

Bagi Ngatminah, tidak kekayaan yang ia kejar, namun berharap pertanian bisa memberikan kelayakan hidup, dalam pemenuhan keseharian. Tembakau menjadi peralihan dari komoditi padi, saat air hujan tak lagi datang.

Edi Sutikno, petani desa Simpang Tiga, dari Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Tekun mengerjakan sawahnya, dan memanfaatkan keseluruhan potensi lahan tersisa. 

Minimal seluruh lahan bisa ditanami, baik sawah, maupun pekarangan rumah yang mungkin luasannya tak mencapai 500m2. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun