Mohon tunggu...
Roedy Haryo Widjono
Roedy Haryo Widjono Mohon Tunggu... profesional -

Direktur Nomaden Institute Cross Cultural Studies

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dominasi Manusia Pada Alam: Paradoks Peradaban

3 Maret 2013   08:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:24 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dominasi Manusia Pada Alam: Paradoks Peradaban

Roedy Haryo Widjono

Nomaden Institute Cross Cultural Studies

Bencana ekologi tak tersangkal faktanya. Kerusakan ekologis yang maha dahsyat, merupakan akibat dominasi manusia pada alam. Terhadap fakta yang menggetirkan ini, Charles Reich bernubuat, “Dari semua perubahan yang terjadi pada manusia, yang paling menyedihkan, manusia telah kehilangan tanah, udara, tetumbuhan, dan pengetahuan tentang tubuhnya sendiri yang berasal dari alam.” Keserakahan manusia telah mengakibatkan semesta menuju kehancuran.

Kehancuran tatanan ekologi, senyatanyamerupakan akumulasi krisis multi-perspektif, yang tak pernah sanggup diatasi oleh manusia. Barangkali inilah yang disebut kecelakaan peradaban. Krisis itu tidak hanya berwujud krisis sistemik, namun juga spiritual, religi dan makna hidup. Maka faktor budaya turut ambil bagian dalam proses interaksi yang menghasilkan situasi ekologi manusia. Bertalian dengan kontradiksi budaya dalam masyarakat kapitalis, amat jelas bahwa krisis ekologi, disebabkan tidak ditemukannya kaidah dalam habitus kehidupan, sehingga menghasilkan dinamika perubahan multi-aspek. Maka, setiap individu mengikuti norma yang mensahkan perilaku kontradiktif, terutama dalam tatanan sosial-ekonomi, relasi kekuasaan dan nilai budaya.

Semestinya, kebudayaan sebagai determinan kondisi ekologi manusia, dimaknai secara bijak. Sebab, keseimbangan biotik dan harmoni sosial dapat dipertahankan melalui interaksi faktor keterkaitan sosial, yakni kependudukan, teknologi dan budaya non material seperti adat dan kepercayaan, dimana hal itu memiliki pertautan dengan akses terhadap penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

Pertarungan Paradigma

Meski bukan satu-satunya penyebab, namun timbulnya masalah ekologi tak terpisahkan dari pandangan kosmologi, yang secara faktual menumbuhkan sikap eksploitatif. Setidaknya ada tiga pendekatan etika lingkungan, yakni egosentris, homosentris dan ekosentris, yang niscaya mendasari posisi politis dari pelbagai kelompok yang berkepentingan terhadap sumber daya alam. Konflik kepentingan multifihak yang terus merebak, selalu mengacu pada pendekatan etis itu.

Etika egosentris senantiasa konsisten pada kepentingan individu. Bahkan acapkali mengklaim, apa yang baik bagi individu adalah juga baik bagi masyarakat. Paradigma ini, memperoleh pendasaran filosofis dari pemikiran Thomas Hobbes, lewat pepatah yang tersohor “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Maka etika egosentris, didasarkan pada asumsi, manusia semestinya memperlakukan alam menurut insting natural.

Adapun etika homosentris mendasarkan diri pada kepentingan masyarakat. Klaim utama paradigma ini bahwa model pendekatan pelaku ekologi niscaya melindungi kesejahteraan masyarakat. Namun karena sifatnya utilitaris, etika ini mengarah pada pengurasan sumber daya alam dengan dalih kepentingan umum. Salah satu problema utama etika homosentris dan juga egosentris, adalah gagal memperhitungkan faktor eksternal ekologi.

Sedangkan etika ekosentris, mendasarkan diri pada kosmos. Lingkungan secara keseluruhan, dinilai pada dirinya sendiri. Maka paradigma ekosentris merupakan alternatif untuk memecahkan dilema etis ekologi. Terlebih karena keniscayaan bahwa, tetap bertahannya semua yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen ekosistem, lantaran seperti halnya manusia, semua benda dalam kosmos mempunyai tanggung jawab moral.

Pertarungan antar paradigma itu, telah melahirkan konflik kepentingan antara kelompok privat dan individu, rakyat dan negara, investor dan rakyat. Sehingga, secara sosio politik-budaya, situasi kehidupan manusia justru menjadi kian tidak adil. Terlebih karena eksploitasi sumber daya alam justru menghasilkan kerusakan alam semesta. Kesemuanya itu tampak nyata dalam praktik industrialisasi, militerisasi dan overkonsumsi. Harga yang paling mahal dari dominasi manusia pada alam, dalam konteks peradaban manusia adalah degradasi lingkungan yang maha dahsyat. Bumi yang hanya satu itu, terus menerus menjadi arena pertarungan keserakahan manusia.

Sesungguhnya, problem mendasar ekologi yang bermuara pada dominasi manusia atas alam, adalah overkonsumsi oleh dunia industri dan kaum elit urban. Dominasi manusia atas alam, menjadi semakin kuat mengakar karena dukungan teknologi. Perkembangan teknologi kian memperkuat posisi manusia dalam kedudukannya sebagai “sang penguasa” alam semesta.

Refleksi Kultural

Dalam perspektif budaya, paradigma ekosentris menemukan pertautan mendalam. Utamanya karena, kebudayaan diniscayai sebagai hasil dari karya, rasa dan cipta suatu komunitas. Kebudayaan juga dimaknai sebagai “superorganic” lantaran pewarisan kebudayaan terus berlangsung dari generasi ke generasi, sekalipun orang-orang yang menjadi anggota komunitas, senantiasa silih berganti disebabkan oleh kematian, perkawinan dan kelahiran.

Kebudayaan senantiasa meliputi suatu sistem nilai, norma moral serta etika yang berlaku dalam komunitas tertentu. Maka, memposisikan kebudayaan sebagai arena perjuangan untuk pemulihan ekologi, sejatinya merupakan agenda mendesak. Terlebih karena, praktik eksploitasi sumber daya alam yang selama ini bersandar pada nafsu developmentalis, telah memanipulasi dan mengendalikan segala aspek kehidupan demi kepentingan ekonomi kapitalis dan liberalisasi kehidupan.

Maka, pesan antropologi dalam konteks dominasi manusia atas alam, ialah memahami keragaman nilai-nilai, dan menghimbau toleransi terhadap “equally valid patterns of life”, yang telah direkontruksi oleh manusia selama perjalanan sejarahnya.

Musti juga difahami, setiap kebudayaan mempunyai identitas khas. Hal itu tidak berarti, suatu kebudayaan menutup diri terhadap perkembangan peradaban. Sebab, umat manusia sedang menuju universalisme. Namun bukan universalisme kebudayaan, melainkan universalisme moral. Maka dalam konteks bencana ekologi, benarkah manusia telah menunjukkan diri sebagai bangsa beradab?

Akhirnya, kata kunci refleksi kultural menyangkut dominasi manusia atas alam, layak disimak pandangan pakar ekologi Tom Dale dan Vernon Gill Carter,

“Manusia beradab, hampir selalu berhasil menguasai lingkungan hidupnya untuk sementara. Kekuasaan yang bersifat sementara itu, dikiranya abadi. Dia menganggap dirinya menguasai seluruh dunia. Padahal dia tak mampu mengetahui hukum alam sepenuhnya.



Manusia, baik beradab maupun biadab,adalah anak alam bukan tuan yang menguasai alam.Bila ia mau mempertahankan kekuasaannya.

Dia harus menyesuaikan diri pada hukum alam tertentu.

Jika ia mencoba mengelak terhadap hukum alam. Semesta alam yang mendukungnya akan hancur. Jika semesta alam hancur,

maka peradaban juga akan hancur”. (*)

Permenungan di Lou Benung,

Negeri Leluhur Dayak Benuaq

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun