Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cowok Egois atau Cara Berpikirnya Memang Beda

19 Agustus 2025   15:04 Diperbarui: 19 Agustus 2025   15:04 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Vera Arsic: https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-dan-pria-duduk-di-bangku-kayu-coklat-984949/ 

Dalam setiap hubungan, kita hampir pasti pernah terjebak pada momen salah paham. Bayangkan, ketika sedang merasa rapuh dan membutuhkan seseorang untuk sekadar menemani, justru terdengar jawaban singkat dari pasangan: "Aku lagi sibuk, nanti ya." Kalimat itu bisa menohok, membuat hati panas, dan memunculkan pertanyaan klasik: apakah dia tidak peduli, atau memang cowok pada dasarnya egois? Pertanyaan sederhana ini ternyata punya jawaban yang jauh lebih dalam, bukan sekadar drama percintaan anak muda, melainkan juga menyangkut cara kerja otak manusia dan pola komunikasi yang terbentuk sepanjang hidup.

Psikologi modern dan neurosains telah banyak menyingkap bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan sering kali tidak berakar dari kurangnya cinta, melainkan karena otak mereka bekerja dengan cara yang berbeda. Kesalahpahaman yang tampak sepele di permukaan sering lahir dari perbedaan cara memproses informasi, cara menghadapi tekanan, hingga cara mengekspresikan kasih sayang. Maka, sebelum buru-buru menuduh pasangan egois, ada baiknya kita menelisik terlebih dahulu bagaimana otak mereka memandang cinta.

Setiap orang memiliki cara unik dalam mengekspresikan kasih. Ada yang pandai merangkai kata manis, ada yang rajin memberi perhatian kecil, ada pula yang memilih bekerja keras sebagai bukti cinta yang nyata. Semua ini dipengaruhi oleh latar belakang, pengalaman hidup, dan tentu saja, pola biologis yang membentuk otak. Dengan kata lain, ketika pasanganmu mencintai dengan cara yang berbeda dari ekspektasimu, bukan berarti cintanya kurang tulus. Yang penting bukan menyamakan cara, melainkan belajar memahami bahasa kasih yang ia gunakan.

Psikolog keluarga kerap menggunakan analogi sederhana untuk mempermudah gambaran ini. Otak laki-laki sering diibaratkan sebagai lemari laci: setiap laci berisi satu topik, entah itu pekerjaan, keluarga, pasangan, atau hobi. Saat membuka satu laci, laci yang lain biasanya ditutup rapat. Sebaliknya, otak perempuan lebih menyerupai semangkuk mi instan: segala hal terhubung dan bercampur jadi satu, mulai dari urusan pekerjaan, hubungan, drama semalam, hingga kekhawatiran tentang masa depan. Perbedaan sederhana ini menjelaskan mengapa laki-laki cenderung fokus dan terlihat "tenang" dalam menghadapi masalah, sementara perempuan lebih ekspresif dan mengaitkan hampir semua aspek hidup dengan perasaan.

Masalahnya, dari kacamata perempuan, perilaku fokus tunggal ini sering ditafsirkan sebagai sikap egois. Bayangkan seorang perempuan yang butuh didengar setelah hari panjang yang melelahkan. Ia ingin pasangannya hadir, mendengar keluh kesahnya, atau sekadar menjadi sandaran emosional. Namun pada saat bersamaan, pasangannya sedang terhimpit deadline. Maka keluarlah jawaban, "Aku lagi sibuk, nanti ya." Kalimat yang dimaksudkan sebagai bentuk fokus, di telinga perempuan terdengar seperti penolakan. Jam-jam berikutnya, si cowok baru datang dan berkata, "Maaf, aku baru kepikiran kamu sekarang." Bagi perempuan, itu seakan telat dan tidak peka. Bagi laki-laki, justru itu bentuk usaha hadir dengan pikiran yang sudah lebih tenang. Dua realitas yang sama sekali berbeda lahir dari cara otak yang bekerja tidak sama.

Dalam psikologi komunikasi, hal ini disebut sebagai perbedaan gaya pemrosesan. Laki-laki cenderung single-tasking, menyelesaikan masalah satu per satu. Perempuan cenderung multi-tasking emosional, memikirkan banyak hal sekaligus termasuk relasi personal. Penelitian neurosains dari University of Pennsylvania (2013) memperkuat hal ini. Studi tersebut menemukan bahwa konektivitas otak laki-laki lebih dominan antara bagian depan dan belakang, mendukung fokus linear dalam memecahkan masalah. Sebaliknya, otak perempuan memiliki lebih banyak koneksi antarbelahan otak, yang memungkinkan multitasking dan kepekaan emosional lebih besar. Maka, tidak heran jika perempuan merasa lebih dulu "membawa" hubungan dalam pikirannya, sementara laki-laki baru memikirkannya setelah urusan lain selesai.

Perbedaan ini semakin kentara dalam konteks dunia modern. Budaya kerja yang serba cepat, tuntutan digital, dan distraksi media sosial sering membuat laki-laki terlihat semakin "cuek" karena fokusnya terarah ke satu hal. Sementara perempuan, dengan kapasitas multitasking emosionalnya, bisa merasa sendirian memikirkan hubungan. Fenomena yang sering disebut ghosting sementara di media sosial sebenarnya sering berakar dari mekanisme ini. Banyak laki-laki menarik diri sejenak untuk memproses masalah, sementara perempuan mengartikannya sebagai bentuk ketidakpedulian. Padahal, keduanya hanya sedang menggunakan mekanisme coping yang berbeda.

Kalau begitu, adakah jalan tengah yang bisa menyatukan dua dunia ini? Tentu saja ada, dan kuncinya adalah komunikasi. Namun komunikasi yang dimaksud bukan sekadar berbicara, melainkan bagaimana cara menyampaikannya. Kalimat seperti "Kamu tuh nggak pernah ada buat aku!" hanya akan membuat pasangan defensif. Tapi jika diubah menjadi, "Aku ngerti kamu lagi fokus kerja, tapi kalau aku lagi sedih sendirian, aku pengen kamu ada," hasilnya akan berbeda. Kalimat kedua mengandung empati dan menjelaskan kebutuhan emosional tanpa menyalahkan. Konsep semacam ini dikenal sebagai non-violent communication (NVC), yang menekankan kejelasan perasaan sekaligus penghargaan terhadap lawan bicara.

Di sinilah seni dalam hubungan diuji. Menuntut pasangan berubah total jelas tidak realistis. Yang lebih mungkin adalah beradaptasi dan mencari titik temu. Laki-laki bisa belajar sedikit lebih responsif, meskipun pikirannya belum benar-benar selesai dengan urusan lain. Perempuan bisa belajar memberi jeda, meskipun dalam hati tetap ingin diperhatikan segera. Keduanya dapat berdiskusi ketika suasana lebih tenang, bukan di tengah badai emosi. Kesediaan untuk mengakui perbedaan ini saja sudah menjadi langkah besar untuk mencegah salah paham berulang.

Hubungan pada akhirnya bukanlah ajang siapa yang paling benar atau siapa yang paling peduli. Cinta adalah proses belajar memahami, yang tidak selesai dalam semalam. Jika laki-laki kadang lambat merespons, itu bukan berarti ia tidak cinta. Jika perempuan kadang lebih cepat khawatir, itu bukan berarti ia berlebihan. Semua itu hanyalah cerminan dari cara otak mereka memproses cinta. Tugas pasangan adalah menjembatani perbedaan itu, bukan menghapusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun