Di jantung Kalimantan Timur, mengalir sungai yang sejak lama menjadi nadi kehidupan, jalan raya air, penopang peradaban, dan rumah bagi misteri purba yang belum selesai disingkap. Namanya Mahakam, sebuah nama yang begitu dalam resonansinya bagi penduduk lokal, tetapi terlalu mudah dilupakan dalam wacana pembangunan nasional. Sungai ini membelah bumi sejauh 980 kilometer dari hulu pegunungan Muller hingga bermuara di Selat Makassar. Ia bukan sekadar tubuh air, tetapi tubuh sejarah, tubuh ekonomi, dan tubuh ekologis yang kini menderita luka demi luka. Mahakam menyimpan banyak cerita, dan banyak luka yang belum mendapat obat.
Dalam deretan sungai besar Nusantara, Mahakam berdiri sebagai simbol peradaban air yang tua. Sekitar abad keempat, di Muara Kaman, berdiri kerajaan Hindu tertua di Indonesia: Kutai Martapura. Di situlah Mulawarman, cucu Kudungga, menulis sejarah emasnya dengan tinta perunggu pada Yupa yang kini menjadi artefak nasional. Tak jauh dari situ, abad ke-13 mencatat kemunculan Kutai Kartanegara di Jahitan Layar, yang kemudian menyatukan dua kerajaan itu dalam sebuah entitas baru: Kutai Kartanegara ing Martapura. Sungai Mahakam adalah benang merah yang mengikat dua narasi besar itu, seperti ibu yang menyusui dua anak dengan sabar, menyaksikan mereka tumbuh, bersaing, lalu menyatu.
Namun Mahakam bukan hanya tentang masa lalu. Ia juga tentang masa kini dan masa depan. Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam adalah lanskap yang unik. Lebih dari 70 danau alami menghiasinya, 30 di antaranya berada di bagian tengah DAS. Tiga danau besar, Semayang, Melintang, dan Jempang, adalah perhiasan ekologis yang menyimpan beragam jenis ikan: toman, lais, jelawat, haruan. Namun, harta karun sesungguhnya justru hidup di antara riak-riaknya: Pesut Mahakam, lumba-lumba air tawar yang lembut dan pemalu, satu dari sedikit yang tersisa di dunia. Mereka bukan hanya indikator kesehatan ekosistem, tetapi juga simbol dari keajaiban biodiversitas yang tersisa di bumi yang terus digerus.
Mahakam tidak hanya membawa air, tetapi juga harapan. Di daerah ini, sungai bukan pembatas, melainkan penghubung. Ia menjadi jalan utama bagi masyarakat. Tak seperti di Jawa yang menjadikan jalan tol sebagai arteri utama, Kalimantan mengandalkan sungai sebagai jalur logistik, perdagangan, dan kehidupan sosial. Perahu-perahu kecil, kapal penumpang, hingga tongkang-tongkang batu bara berukuran raksasa saling berlalu-lalang, menyusun koreografi ekonomi yang rumit namun akrab. Pemerintah daerah bahkan pernah meluncurkan kapal wisata "Pesut Mahakam" sebagai bentuk penghormatan terhadap simbol lokal tersebut, meski ironinya, hewan yang menjadi namanya kini tinggal hitungan.
Sayangnya, cerita Mahakam yang indah mulai pudar warnanya. Di bagian tengah hingga hilir, luka-luka mulai menganga. Tambang batu bara, yang awalnya dijanjikan sebagai sumber kemakmuran, perlahan menjelma menjadi neraka ekologis. Lubang-lubang bekas tambang menganga seperti luka terbuka di tubuh bumi, sebagian dibiarkan tanpa reklamasi, berubah menjadi kolam beracun yang meracuni air tanah dan merusak ekosistem. Data dari Ditjen Sumber Daya Air menunjukkan bahwa erosi di DAS Mahakam telah mencapai tingkat mengkhawatirkan, yakni 1,4 hingga 95 ton per hektar per tahun. Ini bukan hanya angka. Ini adalah ukuran dari setiap butir tanah yang hilang, dari sedimen yang menyumbat sungai, dari air keruh yang menyulitkan perahu melaju, dan dari tanah longsor yang mengintai pemukiman.
Lebih jauh lagi, Mahakam kini menghadapi ancaman tak kasatmata: pencemaran logam berat. Zat beracun dari aktivitas industri dan pertambangan meresap perlahan ke dalam air, tanah, dan tubuh-tubuh makhluk hidup yang bergantung padanya. Beberapa ekor Pesut Mahakam ditemukan mati pada tahun 2024, dengan indikasi kuat paparan zat kimia berbahaya. Populasi mereka telah anjlok, dan kini hanya tersisa kurang dari 67 ekor. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin makhluk ini akan menyusul burung dodo atau harimau Tasmania, menjadi legenda yang hanya hidup dalam cerita rakyat atau ilustrasi buku biologi anak-anak.
Kerusakan tak berhenti di tengah. Di muara, delta Mahakam yang dulu hijau dan lebat oleh mangrove kini perlahan menjadi padang gersang. Delta ini, seluas 150.000 hektar, dulunya menjadi rumah bagi beragam spesies dan perisai alami dari abrasi serta badai. Pada 1990-an, ia bahkan tercatat sebagai salah satu ekosistem mangrove terbesar di Asia Tenggara. Namun kini, data tahun 2022 dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menunjukkan bahwa lebih dari separuh luasnya telah rusak karena alih fungsi menjadi tambak atau pembangunan pipa gas. Ini bukan hanya hilangnya pohon, tetapi hilangnya sistem penyangga kehidupan. Tanpa mangrove, pesisir menjadi rapuh, laut menjadi keruh, dan kehidupan menjadi ringkih.
Namun, Mahakam tak hanya bicara soal lingkungan. Ia juga menyimpan rahasia masa lalu yang jauh lebih tua, bahkan sebelum ada manusia yang memijak tanah Kalimantan. Dalam keheningan batuan di Kalimantan Utara, para ilmuwan menemukan fragmen sejarah geologis yang telah lama hilang: Lempeng Pontus. Penemuan ini, hasil penelitian mahasiswa geologi Universitas Utrecht, Suzanna van de Lagemaat, mengejutkan dunia ilmiah. Lempeng tektonik ini, berusia sekitar 120 juta tahun, diduga merupakan bagian dari kerak bumi yang tersubduksi di bawah lempeng lain selama pembelahan superbenua Pangaea. Pontus, yang dulunya terbentang di antara benua Eurasia dan Australia, kini hanya tersisa fragmennya, dan sebagian ditemukan di Kalimantan.
Penemuan ini bukan sekadar pencapaian akademik. Ia memberi kita perspektif baru tentang Kalimantan sebagai tanah yang bukan hanya kaya secara biologis, tetapi juga geologis. Tanah yang kita pijak hari ini ternyata lahir dari tarian kerak bumi yang dahsyat, dari tabrakan dan subduksi lempeng yang menciptakan gunung, laut, dan sungai. Mahakam, dalam konteks ini, adalah warisan bukan hanya budaya dan ekologi, tetapi juga geologi. Dan seperti semua warisan besar, ia menuntut tanggung jawab besar.
Kita tak bisa lagi mengabaikan seruan Mahakam. Di tengah upaya pemerintah mendorong Ibu Kota Nusantara sebagai simbol peradaban baru, Mahakam mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar: Apa arti pembangunan jika ia mengorbankan sumber kehidupan? Apa arti pertumbuhan jika harganya adalah kepunahan? Mahakam menantang kita untuk memikirkan ulang paradigma kita: dari eksploitasi menjadi konservasi, dari mengambil menjadi memberi kembali, dari mengejar laba jangka pendek menjadi membangun keberlanjutan jangka panjang.