Mohon tunggu...
Nita Juniarti
Nita Juniarti Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Perempuan

Penaruh mimpi di Altar-Nya

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sarung

14 Mei 2020   03:35 Diperbarui: 14 Mei 2020   03:33 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Jendela masih terbuka, hujan turun hingga rinainya berebut masuk dari jendela yang terbuka.

"Tutuplah jendela itu dik" Ujar Mus
"Tutuplah sebentar, aku sedang repot ini" balas Jun

Mus mengalah, ia menutup jendela yang menghasilkan tampias lalu mengelap lantai yang basah. Ini tahun ke-2 Pernikahannya dengan Jun, banyak hal yang mereka lalui. Mus yang bekerja sebagai petani dan membuka warung lebih dari cukup menghidupi kebutuhan mereka, Jun juga bukan perempuan suka foya-foya. Jun selalu bersyukur dengan apapun yang suaminya berikan.

"Aku akan shalat jumat Dik, tolong siapkan baju"
"baik"
Hujan masih lebat di luar rumah. Beberapa orang laki-laki mulai terlihat pergi ke mesjid.

"kok sarung baru?" tanya Mus
Selesai mandi, ia mendapati baju koko, peci dan sarung. Sarung bewarna ungu bermotif, halus dan masih berplastik terletak di sana.
"Tidak apa-apa, Jun ikhlas sarung itu abang pakai ke Mesjid biar jika dihisab nanti jadi pahala, barakah"

"tapi dik, ini mahar pernikahan kita loh"

"lagian ini puasa bang, jadi lebih berkah sarungnya, pakailah"

Mus agak segan, pasalnya ketika ia mengajak Jun menikah, kehidupan Mus tidak selumayan sekarang. Ia pengangguran, tidak punya uang dan satu-satunya yang ia punya waktu itu adalah komitme dengan semangat tinggi  untuk menikahi Jun. Jun yang waktu itu hanya punya uang untuk membeli sarung, jadilah digunakan untuk mahar mereka. Jika  lumrahnya seperangkat alat sholat maka ini sarungnya dulu, alat yang lain menyusul. Jadilah akadnya "sepotong sarung dibayar nyicil ke calon istri" membuat sekampung ribut.

Sebulan pembicaraan itu jadi trending topik di kampung mereka. Jun, perempuan itu sebenarnya cukup banyak yang melamar tapi entah apa yang merasukinya hingga memilih Mus yang tidak berharta itu.

"Pakailah bang, sudah hampir masuk jumat itu" bujuk Jun.
"sarung lama mana?"
"sudah tidak layak pakai"
"yang lain?"
"Sarung dari Pak Wahid yang lusa sudah kusumbangkan ke Musalla, dia kira bisa membeli suara dengan sepotong sarung? Tidak punya akhlak"  
"Lah, itu bisa dipakai dik"
"apanya, dia membagi-bagikan sarung untuk mendulang suara pemilihan Kades nanti. Sarung kasar pula"

Mus tidak habis fikir, Jun istrinya mau dilamar dengan sepotong sarung untuk hidup bersama Mus seumur hidup tapi ribut dengan calon kades yang hanya membeli suara dengan sepotong sarung padahal hanya menduduki jabatan 5 tahun maksimal. Nalar Mus benar-benar kaku diantara cerocos Jun yang macam asap cerobong kereta api menggunakan bahan batu bara. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun