Mohon tunggu...
Nita Juniarti
Nita Juniarti Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Perempuan

Penaruh mimpi di Altar-Nya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar di Rumah, Pembajakan dan Nasib Literasi

31 Maret 2020   13:38 Diperbarui: 31 Maret 2020   13:50 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekolah diliburkan sejak 16 Maret 2020 di Malang, kota saya tinggal saat ini. Mulailah kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan online.

" Susah-susah gampang mbak, gurunya harus full kuota. Kami menerapkan belajar dari jam 08.00 wib seperti di sekolah. Kemarin saya keliling ke rumah-rumah siswa malah ada yang belum bangun. Belum lagi pembelajaran bisa sampai malam karena orangtuanya acuh dalam menemani anak belajar " cerita salah satu kepala sekolah sekaligus guru di sebuah sekolah pendampingan saat saya bertanya bagaimana pendapatnya tentang himbaun di rumah saja

Beberapa sekolah dampingan lain hanya memberikan tugas harian, sisa hari siswa-siswa hanya bermain di halaman atau dimana mereka senangi.

Belajar di Rumah ini memang positifnya jika diperkotaan menjadi alasan untuk terus menjadi manusia 4.0 berbasis teknologi. Tapi, bagi masyarakat desa tentu ini menyusahkan. Selain sinyal tak stabil, biaya kuota internet jadi membengkak. Positifnya lagi, belajar di rumah bagi orangtuanya pekerja pemerintah atau hidup di atas garis rata-rata khususnya lagi di perkotaan menjadi waktu family time namun bagi masyarakat desa yang sehari-hari makan dari hasil sehari dicari, bagaimana? Tentu sebuah keputusan itu bagai pisau bermata dua, ada baiknya ada pula muzaratnya. 

Namun, yang paling menjadi bahan pemikiran adalah ada yang libur sekolah malah satuy membawa anak ke tempat wisata sebab sudah lama tak berwisata bersama, jadi apa yang salah dari masyarakat kita? Apakah informasi libur sekolah dan di rumah saja tidak sampai sebagaimana layaknya sebuah informasi? Atau jangan-jangan literasi kita yang sudah anjlok sampai batas tidak dapat tertolong?

Sejak tanggal 16 Maret 2020, berbagai wilayah meliburkan sekolah. Perintah di rumah aja membuat orang mencari kesibukan dengan menonton, membaca atau hal lainnya. Perhatian saya tertuju pada buku-buku PDF yang tersebar dari grup ke grup atau japrian, rata-rata orang saya perhatikan menulis status "yang mau buku, japri ya" lantas ketika di japri kita disuruh untuk membuat status serupa dan ternyata usut punya usut itu illegal. Bagaimana jika dengan di rumah saja ini membuat pembajakan semakin menjamur? Lama-lama dunia literasi bisa kehilangan panggung. Setiap tahunnya, pembajak bisa mendapatkan keuntungan 100% untuk setiap karya penulis, lantas penulis dan penerbitnya dapat apa? Apakah menulis tidak butuh makan, minum dan energi? Apakah menerbitkan buku legal tidak perlu mengeluarkan biaya? Itulah kenapa pembayakan itu sangat menghinakan. Belum lagi, jika itu tidak diridhoi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, maka haramkah hukumnya itu?

Jika semua yang #dirumahaja senang dengan semua pembajakan itu, jika semua yang di rumah malah menghabiskan waktu bukan untuk membaca, menulis atau melatih skill diri, bagaimana nasib literasi kita nantinya?

Semoga wabah ini segera berakhir, kondisi kondusif kembali. Aamin

Malang, 31 Maret 2020
Ditulis saat hati tidak karuan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun