Dalam era digital yang serba terhubung, Generasi Z yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh dengan teknologi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Media sosial tidak lagi sekadar menjadi alat komunikasi bagi mereka, melainkan telah menjadi ruang untuk membentuk identitas dan membangun citra diri. Di tengah arus informasi yang begitu cepat, kemampuan untuk menjalin koneksi interpersonal secara otentik dan berkelanjutan menjadi faktor penting yang sangat berpengaruh dalam pembentukan personal branding mereka di ruang digital.
Kemampuan ini semakin diperkuat oleh temuan yang menunjukkan bahwa hubungan yang dibangun dengan dasar empati, keaslian, dan konsistensi komunikasi memberikan dampak yang lebih besar terhadap persepsi positif audiens, dibandingkan dengan sekadar mengejar popularitas dalam bentuk jumlah pengikut atau interaksi dangkal. Generasi Z terbukti lebih responsif terhadap interaksi yang membangun makna, memperlihatkan nilai diri, serta menghadirkan narasi personal yang jujur dan relevan di dunia maya.
Temuan ini selaras dengan konsep Impression Management dari Erving Goffman(1959), yang menjelaskan bahwa individu secara sadar mengatur cara mereka dipersepsikan oleh orang lain, seolah-olah sedang tampil di atas panggung sosial. Dalam konteks digital, media sosial menjadi panggung utama di mana Generasi Z memainkan peran sosial mereka secara aktif. Mereka menyesuaikan konten yang ditampilkan untuk membentuk impresi tertentu dan membangun reputasi di mata pengikut mereka.
Selain itu, teori Uses and Gratifications (Katz, Blumler, & Gurevitch, 1973) menunjukkan bahwa generasi ini menggunakan media sosial tidak semata-mata hanya untuk hiburan saja, tetapi juga untuk pencarian identitas dan aktualisasi diri. Mereka aktif memilih platform dan konten sebagai strategi untuk memenuhi kebutuhan sosial dan personal, termasuk membentuk dan mengelola citra diri.
Teori Self-Presentation yang dikembangkan oleh Leary dan Kowalski (1990) juga memberikan landasan yang kuat dalam memahami bagaimana individu menyusun perilaku mereka untuk mengontrol kesan yang terbentuk dalam interaksi sosial. Dalam konteks Generasi Z, proses ini sangat terlihat melalui pola komunikasi digital mereka, yang menunjukkan kesadaran tinggi akan pentingnya pencitraan diri sebagai bagian dari strategi sosial.
Interpretasi temuan ini menunjukkan bahwa membangun personal branding di era digital tidak dapat dipisahkan dari kemampuan menjalin relasi interpersonal yang sehat dan bermakna. Di balik unggahan yang tampak visual dan spontan, terdapat strategi komunikasi interpersonal yang disusun untuk menyampaikan nilai, karakter, dan kompetensi. Interaksi sosial yang dibangun dengan cara yang konsisten dan jujur menjadi kunci dalam menciptakan citra diri yang dipercaya dan diingat oleh audiens digital.
Bagi Generasi Z, membangun personal branding di era digital bukan lagi soal sekadar tampilan visual yang menarik atau banyaknya jumlah pengikut. Justru, yang lebih berpengaruh adalah kemampuan mereka untuk menjalin hubungan yang otentik, penuh empati, dan konsisten. Media sosial menjadi panggung utama bagi mereka untuk mengekspresikan diri, mengelola identitas, dan membentuk kesan yang ingin ditampilkan kepada publik.
Dalam proses ini, Generasi Z secara sadar memanfaatkan berbagai cara untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosial digital—mulai dari bagaimana mereka membentuk citra diri (seperti yang dijelaskan dalam teori Impression Management), memenuhi kebutuhan pribadi lewat media (Uses and Gratifications), hingga menyusun cara mereka tampil di hadapan orang lain (Self-Presentation). Media digital pun akhirnya bukan hanya tempat berinteraksi, tapi juga menjadi cermin bagaimana mereka memahami dan menampilkan diri mereka kepada dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI