Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prabowo Gugat Pilpres, Dukungan Jenderal Atasan Prabowo, dan Kepribadian Prabowo

12 Agustus 2014   15:03 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:45 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menarik secara psikologis. Pilpres 2014 telah membuka kepribadian Prabowo yang luar biasa. Sebelum pilpres, persepsi awal kepribadian Prabowo yang tampak melalui iklan-iklan politiknya membuka diri sebagai humanis, pejuang, ksatria, prajurit sukses. Namun kenapa tak satu pun Jenderal mantan atasan Prabowo mendukung Prabowo menjadi capres seperti Agum Gumelar, Wiranto, SBY, Fahrurrozi, dll.? Mari kita bahas secara psikologi melalui rangkaian pilpres 2014.

Digambarkan dalam iklan Prabowo pergi ke sawah, bersama petani. Diiklankan Prabowo pergi ke pasar, menemui pedagang. Dipersepsikan Prabowo pergi ke pantai, bertemu nelayan. Di iklan Prabowo menyambangi anak-anak dan ibu-ibu, menggambarkan humanism. Itulah gambaran Prabowo selama 5 tahun, demi maju sebagai capres. Berhasil. Namun dalam perjalanan, kampanye, Pidato Polonia, dan Orasi di Mahkamah Konstitusi (MK) telah menggambarkan fase-fase kepribadian asli Prabowo secara psikologis.

Kampanye, membuka fase kepribadian Prabowo pertama. Memasuki kampanye, mulailah Prabowo tampil berpidato. Awalnya, pidato berawal dari pilihan kata-kata seperti Boneka, Batutulis, kesopanan, yang kesemuanya berwujud sindiran.

Fadli Zon membantu Prabowo membentuk keaslian Prabowo fase pertama dengan berbagai puisi seperti Boneka, Raisopopo, dan bahkan keculunan, lalu berkembang menjadi Bis Karatan serta Jokowi RIP, yang mencapai puncaknya pada pilihan kata-kata baru khas Prabowo.

Misalnya, kata-kata maling, rampok, negeri kaya, bercampur dengan kosa kata berdaulat, bermartabat, asing, kekayaan, dan ditingkahi dengan pilihan kata selamatkan Indonesia. Kita harus berdaulat, seolah Indonesia saat ini tak berdaulat.

Fase ini membuka tabir kedok kepribadian asli Prabowo yang mudah terpengaruh, reaktif, dependen alias ketergantungan, dan impulsive muncul ke permukaan.

Debat pilpres. Membuka fase kepribadian Prabowo kedua. Keberhasilan kampanye hitam, menyebabkan kubu Prabowo-Hatta, dengan ditandai oleh elektabilitas Prabowo-Hatta yang meningkat 800% dibandingkan tahun 2013 akhir, menyebabkan semangat asli Prabowo meroket. Kecerdasaan, kehebatan, dan kemampuan komunikasi politik ditampilkan secara utuh dan langsung. Di sinilah Prabowo menyetujui paling kurang 3 program Jokowi-JK, sementara Jokowi tak pernah menyetujui sekali pun program Prahara dalam lima debat capres-cawapres.

Prabowo sering terpojok dan kehilangan kemampuan memberikan data angka-angka. Dana desa Rp 1,4 milyar menurut UU Desa disebut hanya Rp 1 M. Ketidakmampuan dan keterbatasan kemampuan Prabowo dan Timsesnya menyediakan informasi untuk Prabowo menyebabkan Prabowo sering blank. Kosong kepala sesaat. Karena kecerdasannya, Prabowo lalu lari ke teknik orasi. Misalnya, Prabowo menyebut intervensi asing, dan kata dirampok dan yang fenomenal: bocor. Bocor dan bocor.

Debat pilpres ini menggambarkan bahwa kemampuan orasi Prabowo adalah hasil mendengarkan dan menonton gaya pidato Bung Karno, baju Bung Karno, semangat Bung Karno. Yang tidak ada adalah kemampuan memilih kata dan esensi makna kata yang diucapkan oleh Prabowo yang minim korelasi dan kaitan makna. Tak sinkron dan dipaksakan. Orasi Prabowo hanya cocok dibawa dalam kampanye di lapangan yang penuh semangat bercampur keringat: kita selamatkan Indonesia dari kebocoran. Sekali lagi kebocoran dan intervensi asing.

Artinya, kepribadian asli Prabowo muncul. Prabowo tampil dengan tidak cermat, tidak detil, minimnya kemampuan berolah kata dan kemampuan terbatas Prabowo dalam merangkai logika dengan fakta-fakta dan data secara kecerdasan dan logika. Selain itu, kedok Prabowo yang emosional, mudah terpengaruh, kurang pendirian, impulsive, dan reaksioner semakin terbukti.

Pidato Polonia. Membuka fase kepribadian Prabowo ketiga. Ketakutan akan kekalahan dalam perhitungan suara Real Count, sebelumnya ketakutan dilawan dengan membuat Quick Count tandingan yang memenangkan Prahara, Prabowo menarik diri dari untuk menghindari pidato kekalahan seperti yang dia janjikan. Setelah mundur, maka Prabowo maju lagi ke gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun