Mohon tunggu...
Arsenio Wicaksono
Arsenio Wicaksono Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Lahir di Semarang pada tanggal 25 Maret 1998. Pria bertubuh setinggi Sutan Syahrir ini mengambil fokus studi Akuntansi di Universitas Diponegoro. Memiliki ketertarikan pada dunia ekonomi, sains, dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memainkan Analogi Liar Robohnya Selasar Gedung BEI di Post-Truth Era

20 Januari 2018   19:48 Diperbarui: 20 Januari 2018   21:28 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kredit gambar: seeingthewoods.org

Lewat sorot kamera CCTV, ada sekitar empat puluh hingga lima puluhan mahasiswa sedang berjalan di selasar Tower II dalam kunjungannya ke gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) siang itu. Tiba-tiba saja lantai yang menampung banyak orang itu ambruk dan manusia di atasnya pun turut mengikuti. Barangkali tak ada yang menyangka, siang itu menjadi petaka yang tak terduga mengingat tampilan kemegahan gedung yang tentunya bakal memendam jauh-jauh prasangka buruk dari tragedi tersebut.

Beruntung tidak menimbulkan korban jiwa meski banyak korban luka dan patah tulang. Namun naas, saya tidak dapat menghentikan pikiran saya yang malah ngalor-ngidul. Dengan pikiran liar saya, saya teringat akan buku yang ditulis oleh Franz-Magnis berjudul "Pemikiran Karl Marx" nya yang menyebutkan bahwa Marx berkata, "Kapitalisme yang sedang menggali kuburannya sendiri."[i] Dalam hal ini, saya mengaitkan robohnya gedung BEI ini dengan argumen Marx yang berkata demikian.

Terlalu takhayul memang, demikian pun Marx sendiri jika berada di depan saya saat itu mungkin ia akan mengkritik saya lewat sebuah buku atau barangkali melempar buku "Capital" nya ketiga sebanyak 954 halaman setelah tahu pikiran saya yang liar itu. Buku yang cukup tebal untuk dipukulkan ke kepala seseorang. Sebagaimana dalam bukunya "German Ideology", Marx pun banyak mengkritisi pemikiran kaum Hegelian muda yang selalu mengaitkan realita di hadapannya dengan konsepsi relijius.[ii]

Kemudian saya teringat juga akan bencana gempa yang mengguncang wilayah Tasik pada 16 Desember tahun lalu. Gempa yang tak remeh skalanya itu mampu membuat saya dan rekan-rekan di kampus daerah Tembalang beradu cekatan dan kecepatan untuk membuat status lewat sosial medianya dengan beragam kata dan cara. Sebut saja mereka sebagai penyambung lidah BMKG sekitar.

Yang membuat kesal adalah tak sedikit terlintas di linimasa sosial media saya yang menenerjemahkan bencana alam tersebut sebagai azab dari isu LGBT yang tak sedikit orang ingin menjadikannya sebagai tindakan kriminal. Naudzubillahi mindzalik. Kita sebut saja ini sebuah ilmu terapan baru yang dapat kita sebut sebagai "cocoklogi". Bisa-bisanya manusia lain dikatakan sebagai penyebab bencana. Begitu banyak orang dengan ego-tafsirnya dan alangkah lebih bijak untuk berkata Allahu a'lam.

Pikiran liar saya dan pola pikir sesuai ilmu "cocoklogi" inilah yang akan kita bahas. Di sini, keduanya merupakan buah pikir yang membiaskan pemikiran yang berdasarkan komponen-komponen material yang ada. Dalam hal ini, pemahaman mengenai materialisme. Saya dan pemikiran tanpa pendekatan yang lebih dalam terkecuali praduga yang sangat bersifat apriori ini seakan-akan 'main hakim' sendiri tanpa melihat faktor-faktor penyebab seperti kondisi bangunan, daya muatan, dan umur efektifitas gedung.

Di sini saya mengkambing-hitamkan kapitalisme. Hanya gara-gara ucapan Marx di awal tulisan ini, maka gedung tersebut roboh. Sementara pola-pola pemikiran 'main hakim' ini saya ajukan dengan tanpa mengetahui alasan-alasan Marx berkata demikian. Melainkan yang dimaksud dengan argumen Marx tersebut adalah

"Sistem kapitalisme yang akan meniadakan dirinya sendiri. Karena "nilai-lebih" di tangan kaum kapitalis, maka kejayaan mereka makin besar dan buruh  semakin miskin. Mereka tidak sanggup lagi membeli apa yang diproduksi. Persaingan di antara kaum kapitalis pun makin bertambah. Mereka mulai bergabung (trust, kartel) sehingga makin kuat kedudukannya. Jumlah pemilik modal makin kecil dan umlah kaum buruh makin besar. Karena barang tak lagi dapat dibeli, maka akhirnya sistem kapitalisme akan menghancurkan dirinya sendiri."[iii]

Oleh penjelasan demikian, maka argumen bahwa robohnya gedung tersebut yang saya kambing-hitamkan kepada kapitalisme menjadi tidak inheren lagi. Dengan robohnya gedung tersebut, maka semena-mena bukanlah akibat keberjalanan kapitalisme yang mampu dengan sendirinya merobohkan konstruksi gedung tersebut. Dan jika narasi 'main hakim' ini dipertahankan atau bahkan dikembangkan, maka nantinya apa yang menjadi pembeda antara saya dengan 'ormas dengan bordiran di belakang' sesuai Jason Ranti lagukan?

Tentunya ini berkaitan dengan apa yang sedang kita hadapi sekarang. Di masa di mana kabar bohong dengan narasi "main-hakim" menjadi sebuah industri yang menghasilkan. Maka inilah yang kita ketahui sebagaimana disebutkan dengan kata yang sedang berkembang dan dipilih tahun ini oleh kamus bahasa Inggris Oxford yaitu post-truth era. Atau lebih mudahnya kita pahami dengan maksud 'kebenaran tanpa fakta'.

Menerjemahkan bencana alam sebagai tindak balasan dari sang mistikus adalah contoh sederhana yang saya sertakan. Hal kecil ini mampu memberikan arti dengan kuasa dogmatik dan masyarakat yang malas untuk mencari tahu, besarnya pengaruh dogma yang tertanam pada individu dan sebagaimana disebutkan oleh Robert Freidman, seorang psikolog University of Massachussets bahwa kebohongan memiliki keterkaitan dengan kepercayaan diri dan adanya keinginan untuk diakui oleh kalangan banyak[iv]. Dalam kaitannya, subyek-subyek yang melakukan hal tersebut ingin disepahami dan dianggap benar, caranya dengan melestarikan ilmu mutakhir "cocoklogi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun