Mohon tunggu...
Nini Lasmini
Nini Lasmini Mohon Tunggu... -

burung kondor, bergerak menuju ke gunung tinggi, dan disana mendapat hiburan dari sepi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peradaban Islam dan Ilmu Pengetahuan

23 Februari 2013   15:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:49 2016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Lereng Lawu, sejenak saya teringat pemberitaan mengenai penyelenggaraan anugerah Nobel Tahun 2012 yang diselenggarakan di Eropa. Hal menyedihkan kembali berulang ketika tak satupun perwakilan dari peradaban Islam duduk dan menjadi wakil pada momen acara prestisius tersebut. Secara keseluruhan tak kurang dari 21 persen total penduduk dunia adalah Muslim, ironisnya dunia Islam hanya menyumbangkan 10 orang wakilnya sejak penghargaan nobel ditetapkan pada tahun 1895. Secara statistic lebih menyedihkan ketika penghargaan nobel kategori perdamaian dan sastra dikeluarkan dalam daftar, tersisa hanya 2 orang peraih nobel di bidang ilmu pengetahuan yaitu Dr. Abdus Salam (peraih penghargaan nobel di bidang Fisika pada tahun 1979) dan Ahmed Zewail (peraih penghargaan nobel di bidang Kimia pada tahun 1999). Lebih dari itu, Dr. Salam (1926-1996) sebagai peraih nobel di bidang Fisika dikafirkan –tidak diakui keislamannya - dan kemudian terbukti mengalami teror di negara asalnya, Pakistan, hanya karena keyakinannya sebagai penganut Ahmadiyah. Seluruh penghargaan yang dia terima bahkan tak diakui sebagai hasil pencapaian oleh peradaban dunia islam. Bahkan kata “Muslim” kemudian dihapuskan oleh pemerintah setempat di batu nisannya. Sungguh hal yang memalukan mengingat Dr. Abdus Salam adalah orang pertama dalam peradaban islam yang meraih penghargaan nobel di bidang ilmu pengetahuan, dan tentu menjadi orang pertama dari negara Pakistan yang mendapatkan hadiah Nobel.
Tragedi lain adalah ketika hadiah nobel untuk kategori sastra pada tahun 1988 dimenangkan oleh Naguib mahfouz (1911-2006). Beliau adalah penulis sastra arab modern yang menuliskan buku berjudul “Children of the Alley”, yang kemudian hasil karyanya dilarang di sebagian besar negara-negara di Timur Tengah. Karya indah tersebut dianggap oleh sebagian besar cendekiawan muslim sebagai sesat dan menghina Tuhan. Pada tahun 1994 Mahfouz diberitakan hampir terbunuh setelah ditikam pisau di bagian leher oleh orang tak dikenal. Pada tahun 2003 juga terdapat kontroversi atas penobatan Shirin Ebadi (perempuan) yang meraih penghargaan nobel di bidang perdamaian. Beliau meraih penghargaan atas upayanya memperjuangkan terhadap demokrasi dan pembelaan hak perempuan dan anak di Iran. Pada Desember 2003 Pemerintah Iran menutup kantor pusat pembelaan hak asasi manusia milik Shirin Ebadi di Teheran Iran, dengan alasan bahwa kantor tersebut berdiri selama 8 tahun tanpa memiliki ijin dari pihak pemerintah Iran.
Fakta ini adalah hal yang sangat menyedihkan dan membuat saya bertanya, adakah yang salah dalam peradaban Islam. Menilik sejarah di masa lalu, peradaban Islam memang pernah menjadi pelopor dalam bidang ilmu pengetahuan. Sepanjang abad ke-9 dan abad ke-13 merupakan abad keemasan peradaban Islam. Melalui peperangan ketika terjadi perluasan wilayah kekuasaan, banyak peninggalan ilmu pengetahuan dan budaya wilayah jajahan yang kemudian dikembangkan oleh cendekiawan Islam, mulai dari harta kekayaan ilmu pengetahuan Yunani dan Romawi. Contoh tokoh yang memberikan kontribusi dalam mengembangkan peninggalan ilmu pengetahuan dan budaya negeri jajahan adalah Al Razi, beliau dikenal sebagai ahli dalam bidang pengobatan, musik dan filsafat. Lebih dari 200 buku dan artikel mencatat hasil karyanya. Kemudian sosok Al Furabi yang dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang kosmologi, logika dan musisi. Jabbir Ibnu Hayyin memberikan kontribusi dalam bidang astornomi, keteknikan, geologi, fisika, Farmasi dan kedokteran.
Namun sayang dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan kemudian menghilang dalam dari peradaban Islam. Lebih dari 800 tahun tidak pernah ada penemuan atau inovasi yang datang dari peradaban Islam. Secara kontradiktif, Yahudi sebagai suku bangsa yang selama ini di banyak media Islam selalu ditonjolkan sebagai pihak yang diperangi dan dimusuhi justru banyak memenangkan hadiah nobel, walaupun secara populasi hanya menymbang 0,2 persen dari penduduk dunia. Penemuan dan inovasi kemudian didominasi oleh peradaban non-muslim, misalnya mengenai mekanika kuantum, teknik genetika, teori relativitas dan bermacam penemuan inovatif misalnya mengenai antibiotika, elektrik, komputer dan pernak-pernik lain yang memberikan kemudahan dan membantu kehidupan peradaban manusia yang lebih baik.
Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan peradaban dunia Islam, namun lebih kepada sebuah refleksi mengenai kemunduran peradaban dunia Islam. Lebih lanjut, para cendekiawan Muslim memberikan tiga pandangan atas kemunduran ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Pandangan pertama memberikan alasan bahwa kemunduran ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam karena adanya kemunduran dalam hal iman dan kecintaan sebagian besar masyarakat muslim atas hal-hal yang berbau duniawi. Pandangan kedua adalah adanya faktor sejarah dimana terjadi penaklukan Baghdad sebagai kota ilmu pengetahuan peradaban Islam oleh Kerajaan Mongol yang saat itu dipimpin oleh Hulaku Khan. Dikisahkan bahwa penaklukan Kerajaan Mongol saat itu disertai dengan pengrusakan seluruh naskah-naskah ilmu pengetahuan yang menjadi kekayaan peradaban dunia Islam. Pandangan ketiga adalah bahwa adanya konspirasi dunia barat yang menyebabkan peradaban dunia Islam tidak berkembang dan selalu dalam kondisi terjajah.
Menurut saya, ketiga pandangan tersebut diatas hanyalah pembenaran belaka. Ilmu pengetahuan selalu hadir melalui semangat toleransi, perasaan berbagi dan keingintahuan. Semangat tersebut merupakan dasar bagi kebanyakan kaum cendekiawan untuk memberikan yang terbaik bagi dunia. Pada awal penaklukan dan penjajahan dunia Islam, banyak sekali harta kekayaan ilmu pengetahuan peninggalan kerajaan yunani dan Romawi yang diadopsi. Peninggalan tersebut tidak kemudian dihancurkan namun diterjemahkan dan dikembangkan. Atas dasar itulah mereka memiliki dasar yang sangat kuat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada saat kekhalifahan Abbasid Hunan, dikenal sosok Ibnu Ishaq yang menterjemahkan naskah-naskah yang ditinggalkan oleh cendekiawan dari Yunani dan beberapa karya pengobatan ke dalam bahasa Arab dan Siria. Hunan dikenal sebagai penterjemah yang sangat produktif atas naskah-naskah peninggalan para cendekiawan Yunani, kemudian sosoknya dikenal sebagai “Syekh Penterjemah” di wilayah Arab.
Pada masa kekhalifahan Harun ur Rasheed dan Al mammon juga dikenal sebagai masa yang sangat liberal terhadap berbagai pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian. Pada masa kepemimpinannya dikembangkan sekolah Mutzillah yang mengembangkan pemikiran-pemikiran baru dalam bidang ilmu pengetahuan. Para cendekiawan Mutzillah dituntut untuk mengedepankan pemikiran yang rasional, akal sehat dan semangat keingintahuan. Namun dalam perekmbangannya lahirlah kelompok Ashari sebagai oposisi terhadap pemikiran Mutzillah. Kelompok Ashari lebih mempercayai dan mengedepankan mengenai konsep takdir. Kelompok ini memiliki pandangan bahwa meskipun manusia memiliki kehendak bebas namun pada dasarnya manusia tidak berhak untuk menciptakan segala sesuatu di dunia selain apa yang diciptakan oleh Tuhan. Hasilnya bisa ditebak, terjadi pertumpahan darah antar dua kelompok pemikiran tersebut sampai beberapa tahun. Pada akhirnya kelompok Asharipun menang, sehingga setelah abad ke 14 dan secara khusus setelah Ibnu Khuldun sangat sedikit intelektual yang menonjol di peradaban Islam. Nah parahnya kelompok “pemenang” ini pada akhirnya juga menggunakan dan memanfaatkan hasil karya dari pengembangan ilmu pengetahuan, baik di bidang pengobatan, perdagangan, pengembangan dakwah, peperangan, dan lainnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Fenomena pertarungan pemikiran semacam ini masih saja terjadi, coba pembaca budiman merenungkan, pasca reformasi 1998, begitu banyak institusi dan aliran islam fundamentalis tumbuh subur di negeri ini. Kaum fundamentalis yang gemar sekali mengkofar-kafirkan umat Islam moderat yang memiliki pemikiran terbuka dan menghormati ilmu pengetahuan. Sebut saja Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), FUI, PKS melalui Ikhwanul Muslimin dan masih banyak lagi selalu menjegal dan secara terbuka menyerang upaya umat Islam di kalangan nasionalis dan pro pluralisme yang ingin memajukan peradaban bangsa. Kelompok-kelompok tersebut saat ini telah menyusup sampai ke jantung dan sendi penting negara, mengancam NKRI. Bagi kelompok ini, Demokrasi dijadikan topeng, Agama dijadikan tameng untuk membenarkan tindakan mereka yang sarat kepentingan politik dan kekuasaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun