Mohon tunggu...
Nildza K
Nildza K Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Over" Kriminalisasi di Balik Tudung Dekolonialisasi

20 Februari 2018   08:43 Diperbarui: 20 Februari 2018   15:07 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Tribunnews.com

Beberapa bulan ke belakang, ramai petisi bertebaran di media sosial tentang penolakan draft rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah. Dekolonialisasi, DPR bilang. Overkriminalisasi yang tersembunyi, saya bilang.

Draft yang paling marak dibahas adalah perluasan pasal zina. Draf RKUHP Pasal 484 ayat (1) huruf e menyebutkan bahwa "(1) Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun: e. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan." Pun demikian, tak sedikit warganet yang mendukung penuh RKUHP ini. 

Bagus, bisa menurunkan angka seks di luar nikah, itulah opini yang paling populer dari sisi pro dalam isu ini. Memang, dengan adanya ancaman pidana, masyarakat akan semakin takut lahan privasi mereka ini diubek-ubek pemerintah mereka. Tapi, apakah reaksi masyarakat hanya akan bermuara pada rasa takut?

Berpikir panjang, tidak?

Dengan adanya rasa takut ini, tidak dapat dipungkiri bahwa solusi yang diambil masyarakat nantinya ialah dengan menikah dini yang tentunya akan menambah masalah di negara ini. Padahal, 25% anak perempuan di Indonesia telah menikah dini dan hal ini jelas-jelas menghambat program pendidikan 12 tahun yang dicanangkan pemerintah. Terlalu dangkal jika aspek yang dinilai pemerintah hanya sebatas perkara asusila, bukan pihak-pihak yang berpotensi dipidana. 

Budaya persekusi dan main hakim sendiri akan semakin marak, terlebih lagi privasi akan selalu diintervensi tanpa mengerti esensi dari kriminalisasi pihak-pihak yang tak terbentengi karena terlalu banyak warga yang terancam menjadi "korban" hukum di negara sendiri. 

"Terikat dalam perkawinan yang sah" tentunya merujuk pada kewajiban adanya bukti pernikahan yang resmi, otomatis, pasangan yang nikah secara siri, poligami, korban pemerkosaan yang tidak dapat menunjukkan bukti, dan korban-korban lainnya dapat terancam sanksi dengan minimnya perlindungan HAM bagi diri mereka sendiri. 

Bagaimana dengan anak-anak yang berpotensi terlantar karena ia lahir dari pasangan yang tidak memiliki bukti nikah sah? Terlalu terburu-buru jika RKUHP ini ketok palu dengan membuat kriminalisasi baru, karena dampak RKUHP terhadap infrastruktur keadilan pun belum diselami betul oleh para pemangku kekuasaan itu.

Pikir panjang, tidak?

RKUHP Pasal 239 tentang penghinaan Presiden atau Wakil Presiden pun jelas-jelas menimbulkan tanda tanya besar tentang perbedaan kritisi, aspirasi, dan caci maki. Pasal 239 ini merupakan pasal yang bersifat multitafsir, karena penjelasan definisi dari "penghinaan" itu sendiri tidak tertuang secara eksplisit, sehingga aparat penegak hukum pada dasarnya dapat mengeksekusi dengan sudut pandang pribadi karena tak mau rumit. 

Pendapat warga yang mengatakan pasal 239 ini mempersempit ruang demokrasi dan reformasi keadilan sama sekali tidak salah. Pasalnya, pasal ini jelas-jelas membungkam kebebasan berekspresi dan sangat bertentangan dengan konstitusi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun