MBG di Ujung Pisau: Antara Tujuan Mulia dan Kegagalan Komunikasi Publik
Oleh: Nilamwati Adelia, S.Gz
(Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, STIKOM Interstudi)
Setiap anak datang ke sekolah dengan harapan sederhana: bisa belajar dengan perut kenyang. Namun, harapan itu berubah menjadi kecemasan ketika program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang seharusnya membawa kebaikan, justru menimbulkan kekhawatiran dan kritik di tengah masyarakat.
Program MBG yang digagas pemerintah pusat sejatinya lahir dari semangat mulia --- memastikan setiap anak Indonesia memperoleh asupan gizi yang cukup di sekolah. Sejak diluncurkan pada 2025, program ini menyasar jutaan siswa dan ibu hamil untuk menekan angka stunting serta meningkatkan ketahanan gizi nasional.
Namun, idealisme itu kini berada di ujung pisau. Sejumlah kasus keracunan massal di beberapa daerah, salah satunya di Ketapang, Kalimantan Barat, menimbulkan gelombang kekhawatiran publik. Sedikitnya 25 orang dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi menu MBG yang diduga tercemar bahan berbahaya. Pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN) dan BPOM segera melakukan investigasi.
Masalahnya bukan semata pada sanitasi dapur, tetapi juga pada komunikasi publik pemerintah.
Melalui Model Komunikasi Lasswell (1948) --- Who says What in Which Channel to Whom with What Effect --- terlihat adanya kesenjangan di beberapa unsur penting. Pemerintah (Who) menyampaikan pesan tentang pentingnya gizi seimbang (What) melalui media nasional dan kanal resmi (Channel) kepada masyarakat luas (Whom). Efek yang diharapkan (Effect) adalah meningkatnya kesadaran dan partisipasi publik.
Namun efek yang terjadi justru sebaliknya: menurunnya kepercayaan publik, munculnya kecemasan, dan kritik terhadap tata kelola program.
Dari perspektif komunikasi pembangunan, kegagalan ini mencerminkan lemahnya mekanisme komunikasi dua arah. Program sebesar MBG tidak cukup dijalankan secara top-down; masyarakat, sekolah, dan tenaga gizi seharusnya dilibatkan secara aktif sejak tahap perencanaan dan pengawasan. Tanpa partisipasi, pesan gizi mudah hilang dalam rantai birokrasi yang panjang.
Data Timedoor.net (2025) menyebutkan bahwa program MBG ditargetkan menjangkau lebih dari 80 juta penerima manfaat di seluruh Indonesia. Jika pelaksanaannya tidak disertai transparansi dan keterlibatan publik, potensi sosial dan kesehatan yang besar ini bisa berubah menjadi krisis kepercayaan.
MBG adalah langkah strategis menuju generasi emas Indonesia. Namun pelaksanaannya membutuhkan komunikasi yang jujur, terbuka, dan partisipatif. Pemerintah harus berani membuka kanal umpan balik dan memperkuat edukasi publik agar tujuan program tidak sekadar menjadi jargon, melainkan benar-benar berdampak pada kesehatan bangsa.