Mohon tunggu...
Niji No Saki 1107
Niji No Saki 1107 Mohon Tunggu... -

benci shopping mall

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Sales Representative Tak Sekedar Promosi

11 September 2010   18:49 Diperbarui: 4 April 2017   17:51 27696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_255472" align="alignleft" width="300" caption="from http://www.coachwithjeremy.com/blog"][/caption] Apa bayangan pertama yang muncul di benak anda jika mendengar kata 'sales'? Pastinya beragam, dari orang berpakaian rapi yang getol mempromosikan produknya dari kantor ke kantor hingga mbak-mbak cantik berkostum atraktif di pusat-pusat keramaian. Dari pengalaman 2,5 tahun bekerja sebagai process engineer, tak terhitung berapa sales representative dan supplier yang pernah saya temui, masing-masing dengan strategi pemasaran sendiri-sendiri. Dari yang persuasif, piawai presentasi, hingga yang agresif dan setengah memaksa, semua pernah saya hadapi. Saya sendiri memiliki beberapa teman dan saudara yang bekerja sebagai sales representative. Jika saya mendengar cerita mereka, pekerjaan sales sungguh tidak mudah. Dengan gaji pas-pasan, take home pay mereka seringkali tergantung pada komisi yang mereka terima jika berhasil menjual produk. Target penjualan yang harus dipenuhi pun membuat mereka harus melancarkan berbagai upaya. 2 minggu terakhir kebetulan saya diberi tugas untuk menyeleksi sejumlah brand mikroskop. Bekerja di sebuah research group yang baru berdiri kurang lebih 1 tahun, kami belum punya laboratorium dan peralatan sendiri, terpaksalah saya harus nunut kesana kemari jika ingin melakukan eksperimen. Merepotkan memang, apalagi jika lab yang dinunuti kebetulan sibuk. Karena penelitian saya sangat erat kaitannya dengan identifikasi struktur mikro material, mau tak mau kami harus membeli polarizing mikroskop sendiri. Bermula dari berbagai inquiry yang saya buat di internet, dalam 3 minggu terakhir saya telah bertatap muka dengan produsen mikroskop ternama seperti Olympus, Leica, Nikon, Zeiss, dll. Bertatap muka dengan sales representative sebenarnya bukan hal baru bagi saya, namun kali ini ada sesuatu yang membuat meeting tersebut menjadi pengalaman unik. [caption id="attachment_255521" align="alignleft" width="228" caption="polarizing microscope (http://www.microscopyu.com/)"][/caption] Terus terang saya tidak tahu banyak mengenai mikroskopi, saya hanyalah pengguna. Saya menjadi familiar dengan beberapa tekniknya melalui trial and error dan rajin tanya kanan kiri. Karena selama ini nunut, saya pun cenderung pasrah memakai jenis mikroskop apapun yang tersedia di lab. Namun ketika diserahi tugas untuk mereview merek yang akan dibeli, maka saya harus benar-benar tahu spesifikasi produk yang sesuai dengan aplikasi riset kami. Persoalannya ternyata tidak sesederhana,  teknik dan lensa yang dipergunakan ternyata berbeda, tergantung apa yang ingin dilihat; permukaan, kontur, struktur internal, ataukah semuanya. Semula saya berpikir sebuah unit mikroskop akan dijual dalam bentuk built in, namun ternyata untuk aplikasi seperti riset saya, mikroskop dibuat secara custom sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Makin banyak teknik kontras yang dibutuhkan, makin mahal harganya. Karena itulah saya harus benar-benar cermat memilih fitur apa yang ingin saya miliki.  Masalahnya adalah saya tidak tahu teknik apa yang cocok untuk analisa material saya. Jangankan menguasai teknik, namanya saja saya tidak tahu, la wong memakainya juga berdarkan trial and error, tidak ada yang mengajari. Perwakilanpertama yg menghubungi saya adalah dari Olympus, ia bergelar Doktor di bidang Biologi. Titelnya membuat saya cukup keder , baru kali ini saya ditemui sales representative bergelar Doktor. "Hebat sekali Olympus mau membayar seorang berpendidikan S3 untuk jadi salesperson, apa gak over-qualified ?" pikir saya. Namun ternyata hal itu tidak berhenti di situ saja, salespersons lain bergelar Doktor di bidang fisika, geologi, material dan bidang-bidang lain kerap berurusan dengan mikroskopi pun satu demi satu mengontak saya. Para representative ini bertanya sangat detail tentang tema riset dan teknik mikroskopi apa yg saya butuhkan. Namun waktu saya jawab saya benar-benar tidak tahu, mereka ternyata mau mengajari saya yang awam ini. Beberapa orang mengirimi saya literatur, perwakilan dari Zeiss bahkan meminta ijin untuk meminjam sampel saya untuk ia teliti sendiri demi memberikan rekomendasi teknik yang sesuai dengan kebutuhan saya.  Perwakilan dari Leica bahkan mengajarkan saya bagaimana preparasi spesimen yang benar agar morfologinya bisa diamati dengan lebih baik di bawah mikroskop.  Singkat kata, mereka tidak akan menawarkan apapun hingga saya benar-benar tahu apa yang saya butuhkan. Saya benar-benar terkagum-kagum akan kejujuran dan profesionalisme mereka. Tak mungkin mereka tak dibebani oleh target penjualan, dan ketika 1 unit mikroskop berharga minimal 25.000 Euro, (setara dengan hampir Rp 290 juta) bukankah mereka seharusnya berlomba-lomba untuk menjual produknya demi mengejar komisi? Tapi nyatanya tidak demikian, mereka justru lebih takut lagi jika produk terjual namun tidak sesuai dengan kebutuhan customer. Perwakilan dari Nikon bahkan berkata, "We're not just selling you the product, we need to know whether it is really suitable for your application. Please consider it thoroughly, there's no point on you buying it if in the end you'd feel unhappy because it's not really useful. If you're upset about the product I may have to come here more often than I should and it's bad for our reputation.." Di sinilah prekonsepsi saya tentang dunia sales marketing jungkir balik. Saya amat terkesan betapa customer-oriented nya mereka. Yang terpenting bukanlah produk terjual, namun bagaimana produk mereka bisa membantu dan mempermudah pekerjaan saya.  Bukan hanya itu, mereka telah berhasil mengedukasi saya yang pada awalnya sama sekali awam tentang mikroskopi, kini mengerti sedikit bahkan bisa mengoperasikan mikroskop dengan berbagai teknik yang tak pernah saya kenal sebelumnya. Akhirnya saya paham mengapa perusahaan-perusahaan besar ini rela menggaji karyawan lulusan S3 untuk menjadi salesperson. Untuk specialized product seperti mikroskop, perusahaan sadar betul pasar yang mereka hadapi: peneliti, akademisi, teknisi laboratorium, dan ilmuwan. Jangan disangka customer jenis ini mengerti tentang semua hal, banyak hal yang mereka tidak tahu karena mereka pun pada dasarnya pengguna teknologi. Untuk itulah salesperson seperti mereka ada: mereka diharapkan mampu memberikan pencerahan, berdiskusi, bertukar pikiran, berbagi ilmu dan memberikan rekomendasi, bukan hanya sekedar promosi. Dibutuhkan penguasaan ilmu yang kuat, pengalaman dan jam terbang yang cukup tinggi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan para pengguna teknologi. Bukan berarti salesperson yang baik harus berpendidikan S3, saya pun pernah menemui sales representative mikroskop bergelar S1 namun penjelasannya tak kalah dengan kolega-koleganya yang bergelar S3, bahkan ada yang menguasai teknik dan mampu memperbaiki masalah teknis pada AFM (Atomic Force Microscopy), sebuah mikroskop yang mampu melihat obyek dalam skala atomik (< 1 nanometer),  yang ilmunya susah setengah mati. Dari beberapa perwakilanyang saya temui, ada salah satu merk ternama yang sedikit mengecewakan saya karena salesnya ternyata tidak begitu menguasai masalah teknis. Ternyata sebuah brand pun bukan jaminan. Tanpa mengecilkan peran dan profesionalisme salespersons lain, pada dasarnya saya amat kagum pada mereka yang benar-benar menguasai ilmu dan berdedikasi penuh pada apa yang mereka jual. Seorang teman pernah berkata bahwa strategi sales di Indonesia rata-rata lebih berorientasi pada komisi karena sistemnya dibuat seperti itu. Ketika barang yang terjual ternyata tak sesuai dengan aplikasi customer, yang sering ketiban sial adalah technical support-nya, terpaksa pasang badan terhadap ketidakpuasan customer. Jika produk memang ternyata tidak kompatibel dengan aplikasi, maka apa yang bisa diharapkan selain biaya investasi dan operasional yang mubazir? Tanpa ada maksud generalisasi tata laku profesi sales di Indonesia, saya berharap kita semua mampu memetik pelajaran. Jika ada di antara kompasiener yang salesperson semoga bisa menjadi salesperson yang lebih baik: lebih peduli terhadap kebutuhan customer dan meningkatkan dedikasi pada produk yang anda jual, jika anda customer semoga menjadi customer yang baik: tahu apa yang kita butuhkan dan lebih teliti memilih produk. Oiya, Niji dan keluarga mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir batin atas segala kekhilafan dan kesalahan dalam berucap dan berinteraksi dengan Kompasianer semua. Semoga kita bisa terus berbagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun