Mohon tunggu...
Dinda Sastra
Dinda Sastra Mohon Tunggu... Penulis - cewek kuat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis pemula

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Saat Tanggapan Kejagung Soal Vonis Kurir Suap Akil Mochtar Terbantahkan Fakta dan Data

22 Desember 2021   11:59 Diperbarui: 22 Desember 2021   12:41 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selamat siang kompasianer semua, semoga sehat selalu ya! Kali ini saya masih akan membahas kasus Asabri yang kini jadi perbincangan hangat. Tak ada salahnya untuk ikut berargumen sembari mempelajari hukum. Kalau kemarin saya membahas pengertian tuntutan, pledoi, duplik dan replik, kini mari membahas tanggapan kejagung terkait duplik dari terdakwa Asabri.

Adalah Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer yang kini aktif memberi tanggapan duplik Heru Hidayat untuk masalah tuntutan di luar dakwaan. Dirinya mengatakan bahwa putusan hakim hakim yang bersifat ultra petita dibenarkan hukum, seperti vonis Susi Tur Andayani, kurir suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Dirinya mengacu pada Pasal 182 ayat (4) KUHAP, yang mengatur musyawarah terakhir di mana untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan.

Jaksa Leonard menambahkan bahwa rasio logis yang dianut KUHAP yakni hakim dalam memeriksa perkara bersifat aktif dan bebas mempertimbangkan segala sesuatunya yang terkait dengan perkara yang diperiksa. Dirinya menekankan bahwa sepanjang putusan dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas atau publik, maka hakim harus berani mengakomodir nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, termasuk di dalamnya berani menerapkan asas hukum yang dianggap memberi rasa keadilan dan kemanfaatan bagi negara dan masyarakat.

Tanggapan Kejagung ini sepintas terlihat pintar, tapi tak cukup mengelabuhi masyarakat kritis seperti halnya para pakar hukum dan Guru Besar berbagai Universitas ternama yang sebelumnya berkomentar keras. Sebelumnya mari kita simak awal mula adu argumentasi ini. Awalnya terdakwa Heru Hidayat didakwa Pasal 2 ayat 1 UU tindak pidana korupsi. Namun, jaksa penuntut umum menambahkan beban kerugian negara 22 triliun lebih di mana 12 triliun dianggap dinikmati oleh terdakwa.

Berbeda dengan JPU yang mengacu pada laporan BPK, penasehat hukum Heru Hidayat berulang kali membantah adanya kerugian tersebut karena hanya didasarkan aliran uang yang keluar tanpa menghitung aliran uang yang masuk. Pihak Heru juga bersi keras membantah adanya anggapan bahwa kliennya menikmati uang 12 triliun yang hingga saat ini tidak bisa dibuktikan di pengadilan. Termasuk dugaan suap dan sebagainya.

Kembali pada jaksa Leonard yang mencontohkan kewenangan hakim memutus perkara di luar pasal yang didakwakan dengan mengambil contoh vonis Susi Tur Andayani. Menurut Leonard dalam putusannya, majelis hakim memvonis Susi melanggar pasal di luar dakwaan jaksa penuntut umum.

Sebenarnya tanggapan para ahli hukum dan pengacara Heru Hidayat lebih menekankan pada tuntutan jaksa di luar dakwaan, bukan mempermasalahkan vonis. Jadi aneh kalau tiba-tiba Kejagung ngeles membawa-bawa contoh vonis di luar dakwaan.  Asal tahu saja bahwa putusan PN kasus Susi Tur Andayani sudah dibatalkan oleh putusan kasasi di mana sifatnya berkekuatan hukum tetap.

Semoga saja kejagung tidak menggiring persidangan dan masyarakat seolah-olah putusan  di luar dakwaan dibenarkan, padahal putusan PN Susi yang dijadikan pembenaran oleh JPU sudah dibatalkan oleh putusan kasasinya.

Lantas Jaksa juga mengutip pasal 182 ayat 4 KUHAP di mana jelas disitu berbunyi bahwa musyawarah harus didasarkan pada surat dakwaan "dan" segala seusatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Kata "dan" di sini adalah bersifat satu kesatuan, karena bukan kata "atau", yang bisa diartikan sebagai opsi lain. Artinya jelas segala putusan tidak boleh keluar dari lingkup surat dakwaan. Itulah mengapa dalam membuat dakwaan, jaksa diberikan kesempatan seluas-luasnya memasukkan berbagai pasal, bisa dakwaan komulatif, alternatif, kombinasi, dan lainnya.

Selain itu, jelas dalam perkara tipikor Dicky Iskandardinata, jaksa pernah menuntut mati pasal 2 ayat 2 yang tidak dimasukkan ke dalam dakwaan. Namun, ditolak majelis hakim tingkat PN sampai kasasi dengan alasan putusan harus sesuai dakwaan. Bahkan ketua majelis di tingkat kasasinya almarhum Artidjo Alkostar.

Semoga ulasan ini bermanfaat bagi kita dan bisa menyikapi segala berita dan isu dengan bijak. Jangan sampai ada keserampangan yang dipertontonkan di pengadilan yang mana akan mencederai kesucian hukum itu sendiri. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun