Banyak yang meremehkan genre teenlit. Walaupun tak urung genre ini merajai box office, tak hanya di Indonesia namun genre teenlit luar juga punya market yang besar.Â
Aku dulu pernah koar anti teenlit walaupun aku juga konsumen teenlit dan favoritku adalah Eiffel I'm In Love dan To All The Boys I've Loved serta Princess Diaries. Meskipun semua terletak di writing voice ya yang alamiah saja alur berpikir si penulisnya. Tapi banyak yang lupa keahlian teenlit yakni mengemas kebenaran sulit secara ringan yang ujungnya bagus untuk mental health pangsanya yakni remaja bahkan orang dewasa yang tertarik bacaan rileks.Â
Misal ada buku teenlit mengangkat subtema tentang pemerkosaan yang akibat formulasinya yang simpel membuatku paham makna tak langsung dari kompleksnya isu pemerkosaan sembari tetap tegar mempelajari perihal berhubung kekerasan seksual demi keselamatan diri. Aku menonton beberapa tayangan cara menulis sesuai pasar yang bilang kalau teenlit itu juga ada struktur khususnya walaupun terkesan berantakan.
Misal buku Princess Diaries yang kukira contoh buku seni kontemporer yang sangat tersohor take the whole contemporary thing to a new level. Tema sulit seperti politik disajikan secara cerdik oleh Meg Cabot, sang penulis tenar.Â
Apalagi dengan adanya internet, kukira teenlit memang telah menjadi naratif dunia yang kokoh dan diperlukan serta merupakan cerminan estetika masyarakat modern yang sudah globalisasi. Bukannya sastra berat itu salah, on the contrary sastra berat sangat membantu memahami detail dan kaidah esensi. Hanya saja art elitism itu bukanlah sesuatu yang sehat maka seharusnya hal dikira kecil sebagaimananya minat seni perlu disikapi secara bijak.Â