Mohon tunggu...
Nida Nafisah
Nida Nafisah Mohon Tunggu... Kontributor Media Online

Inspirasi datang dari mana saja, dari siapa saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dua Tahun Lalu, Saat Krisis Air di Rumah Kami

22 Agustus 2025   07:29 Diperbarui: 24 Agustus 2025   08:21 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tandon Untuk Menyimpan Air Hujan (Sumber: Unsplash/Amritanshu Sikdar)

Dua tahun lalu, bulan Agustus tepatnya. Saya dan keluarga kesulitan mengakses air bersih untuk kebutuhan kebersihan dan memasak. Saat itu tepat memasuki bulan kemerdekaan, daerah kami dilanda kekeringan selama kurang lebih empat bulan lamanya. Kami cukup sulit mengakses air, apalagi keluarga saya memiliki bayi yang harus dititipkan setiap hari, karena akses ke sumber air agak memakan waktu. 

Mencuci di Sungai

Di sumber air itu terdapat antrean yang panjang, belum lagi durasi mencuci piring dan mencuci baju yang tentunya tak sebentar. Mandi dan cuci piring kami biasa lakukan di empang milik tetangga yang jaraknya agak jauh jika berjalan kaki. Kami biasa menggunakan motor sebagai transportasi sehari-hari dalam kegiatan ini. 

Kami mencuci pakaian di sungai, karena dikhawatirkan busa yang berlebih akan mengotori empang tetangga. Kami cukup tahu diri jika mencuci piring dan mencuci baju agak berbusa banyak, kami tidak membilasnya langsung di atas empang dan sungai. Kami membawa dulu semua benda yang akan kami bilas ke sisi empang atau sungai karena ditakutkan mencemari lingkungan.

Apalagi saat kemarau seperti ini, air sangat dibutuhkan oleh banyak mahluk hidup. Bukan hanya manusia, ada hewan dan tanaman di sawah yang harus hidup dari sungai ini. Sebenarnya kami di rumah, sempat punya sumber air hasil sewa dari rumah tetangga yang punya sumur di depan rumahnya. 

Sewa Air Sumur

Seukuran sewa di desa, membayar 500.000 per tahun adalah angka yang cukup mengagetkan. Sebenarnya apa yang kami dapat pun tidak sepadan, airnya beraroma besi dan tidak bisa diminum. Memang tidak berwarna, tapi tidak bisa dikonsumsi. 

Akses air ini, sebenarnya mencukupi untuk kami mandi dan mencuci. Namun untuk masak dan minum, kami tetap ambil dari jauh. Kebetulan saat itu kekeringan berdampak ke semua empang dan sumber air tetangga, termasuk sumur yang saya sewa itu. 

Kebiasaan mengambil air untuk memasak, kini bertambah menjadi ambil air ke ulu air, pergi ke empang dan sambil cuci-cuci adalah solusinya. Disaat musim gerimis mulai datang dan menunjukkan adanya air, kami justru bersedih karena sumur tetangga yang kami sewa masih kering, dan kami masih kesulitan mengakses air bersih. Bahkan saat tetangga lain sudah berhenti mencari air dan berhenti mencuci baju bersama saya.

Pergi ke Sungai Dalam Keadaan Hujan

Di rumah mereka sudah ada air bersih, karena hujan sudah datang. Sedangkan saya tetap bertahan dan diantar suami mencuci piring dan baju ke sungai setiap sore hari setelah suami saya bekerja. Saya sering sedih karena melakukan hal itu dalam keadaan hujan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun