Gerah melihat fenomena bully di media sosial terkait sesuatu yang dijudul pelakor (pencuri laki orang). Ketidak mampuan mengelola emosi dan hubungan menjadikan seseorang menunjukkan ketidak mampuannya di depan publik, berharap mendapat perhatian dan dukungan. Publik dipaksa untuk memberi perhatian pada kejadian yang tidak menyenangkan, padahal banyak cara yang lebih elok dan manusiawi untuk memberikan pelajaran kepada seseorang yang disangka bersalah.
Disisi lain terkadang pihak laki-laki yang mungkin menjadi pemicu dan penyebab terjadinya perselingkuhan menjadi orang yang terlepas dari perhatian, seakan pelakor berdiri sendiri, hanya dia yang bersalah dan pantas dihukum.
Pencuri dan perebut mengandung makna pemaksaan, sementara bisa saja laki-laki berusaha membuatnya terlihat seolah dia direbut, padahal sejatinya si lelaki yang lakor (lelaki orang) merayu perempuan yang lembut hatinya dan terjatuh dalam jerat cinta lakor. Â Seringkali, perempuan yang tidak menyadari bahwa orang yang mendekatinya adalah laki orang (Lakor), kemudian dia jatuh hati, seterusnya di bully. Sementara lakor bersembunyi dibalik istilah pelakor dan si istri merasa berhak menyakiti perempuan lain karena telah jatuh hati pada suaminya.
Dia tidak mampu menghadapi kekuatan suaminya, lantas menunjukkan kekuatannya pada perempuan lain yang diyakini menjadi perebut 'laki' nya. Yang dilakukan sebentuk pengeroyokan, mempermalukan perempuan yang menjadi perebut suaminya, padahal sejatinya dia sedang mempermalukan dirinya sendiri, menunjukkan perilaku buruknya di depan publik. Kesalahannya, mengira semua orang yang melihatnya menghujat dan menghukum pelakor adalah mendukungnya. Tidak, ada banyak orang waras diluar sana yang berfikir bahwa mungkin saja perempuan yang disebut pelakor adalah KORBAN.
Istilah pencuri laki orang (Pelakor) tidak sepenuhnya tepat, laki-laki sepenuhnya milik dirinya sendiri. Perempuan yang dinikahi tidak sekonyong-konyong menjadi milik suaminya, demikian juga sebaliknya. Permasalahan dalam rumah tangga bukanlah konsumsi publik, alangkah bijak bila diselesaikan dengan cara yang manusiawi. Rumah tangga dibangun oleh orang dewasa, sepatutnya permaslahan yang ada diselesaikan secara dewasa.
Ketika media sosial dianggap sebagai musuh, maka segala sesuatu yang muncul dalam bentuk kekhawatiran membentuk prasangka yang merugikan suatu hubungan. Sungguh, lebih mudah jatuh cinta dibanding memelihara cinta yang ada. Hubungan harus berlandaskan kepercayaan antara kedua belah pihak, dan kedua pihak perlu menjaga kepercayaan yang ada. Menyulitkan diri dengan kekhawatiran suami akan direbut orang lain adalah pekerjaan yang tidak ada ujungnya, kehidupan pun menjadi sulit, bangunlah kepercayaan dan biarkan hidup berlaku dengan indah. Cinta perlu dijaga dalam bentuk yang diridhai Allah swt, maka yang terjadi adalah cinta yang lebih besar dan lebih banyak.
Â