Mohon tunggu...
Rania Makarim
Rania Makarim Mohon Tunggu... Model - Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Just pouring thoughts into words.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pandemi Covid-19, Kekuasaan, dan Kategorisasi Subjek Kewaganegaraan

4 Desember 2020   09:00 Diperbarui: 4 Desember 2020   09:28 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saat ini, di dunia tak terkecuali Indonesia, tengah dilanda pandemi wabah virus Covid-19. Penyakit coronavirus (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus jenis baru yang belum pernah teridentifikasi pada manusia. Virus ini menyebabkan penyakit saluran pernapasan (seperti flu) dengan gejala seperti batuk, demam, dan pada kasus yang lebih serius, pneumonia. Penyakit ini dapat dicegah dengan mencuci tangan secara rutin dan menghindari menyentuh wajah. Penyebaran utama coronavirus baru ini adalah melalui kontak dengan orang yang terinfeksi saat mereka batuk atau bersin, atau melalui kontak dengan tetesan air liur atau cairan/ lendir hidung orang yang terinfeksi.

Virus ini dipandang dengan kengerian dan ketakutan akan penularannya yang begitu cepat, maka dari itu penderitanya pun harus dijauhkan dari masyarakat dengan apa yang disebut "karantina dan isolasi". WHO melansir pertanyaan pasien positif yang bergejala bisa menjalani masa isolasi minimal selama 10 hari setelah gejala muncul ditambah tiga hari setelah gejala reda. Sementara itu untuk mereka yang biasa disebut orang tanpa gejala (OTG), masa isolasinya 10 hari ditambah tiga hari setelah terbukti tes positif. Tak hanya isolasi dan karantina di Rumah Sakit, pasien juga disarankan melakukan isolasi mandiri di rumah dengan tetap mematuhi protokol kesehatan dan tetap dipantau oleh tenaga medis. Bahkan, karena terlalu banyaknya warga yang terinfeksi positif virus ini, pemerintah pun menambah beberapa fasilitas seperti wisma atlet yang dijadikan tempat karantina pasien positif virus corona. Dalam tulisan ini akan menganalisis bagaimana pandemi covid-19 ini dilihat menggunakan perspektif Michel Foucault. Dengan beberapa konsep penting, yaitu subjektifikasi, objektifikasi subjek, relasi kekuasaan dan pengetahuan, serta kedisiplinan.

Jika dilihat dengan perspektif Foucault tentang Warga Negara, hal ini bisa dianalisis bahwa warga penderita virus corona bisa disebut "the others" karena dipisahkan jauh dari masyarakat dan rumah sakit serta tempat karantina lainnya menandakan signifikansi kultural. Jika dilihat secara historis, hal ini sangat serupa dengan penelitian Foucault tentang wabah Lepra pada Abad pertengahan. Wabah lepra menyebar menjangkiti seluruh Eropa pada Abad Pertengahan. Penelitian Foucault mengungkap setidaknya 220 rumah penampungan dan karantina penderita kusta didirikan pada sekitar abad ke-12 di Inggris dan Skotlandia. lepra dipandang dengan penuh kengerian sekaligus kejijikan. Penderitanya diasingkan dari masyarakat, tapi tempat atau balai-balai pembuangan penderita lepra dibangun secara baik. Menurut Foucault, rumah-rumah penampungan dan karantina lepra itu menandai signifikansi kultural penderita lepra di Abad Pertengahan. Penderita lepra merupakan "sang lain" (the Other) di zaman itu, sumber utama wabah tetapi harus diperlakukan dengan rasa takut dan hormat. 

Pandemi covid-19 ini bisa dilihat bagaimana warga Negara menjadi suatu subjek. setiap praktik standarisasi dan normalisasi mengenai subjek dengan serta merta mengimplikasikan pembedaan. Dengan demikian setiap praktik homogenisasi dan totalisasi identitas mengenai subjek tertentu, misalnya "warga yang sehat" dengan sendirinya mengimplikasikan keberadaan --yang sering disembunyikan---dari "warga yang sakit". Bisa dilihat bahwa terdapat pembedaan dalam warga Negara di saat pandemi seperti ini, dibedakan menjadi warga yang sakit yaitu warga yang terkonfirmasi positif covid-19 dengan warga yang sehat.

Kekuasaan membentuk sistem identifikasi yang membedakan suatu jenis subjek terhadap subjek yang lain. Menurut Foucault, kekuasaan untuk mengidentifikasi ini didapat dari ilmu pengetahuan, dimana pada saat ini, dokter lah yang memiliki ilmu pengetahuan dan mampu membentuk serta mengkategorikan warga yang terinfeksi covid-19 sebagai subjek "sang lain". Dalam hal ini warga Negara sebagai subjek telah di objektifikasi. Dimana subjek dijadikan objek melalui proses pemilahan dari dalam dirinya maupun dipilah dari yang lain. Dalam proses pemilahan dan kategorisasi ini, dengan menggunakan berbagai prosedur manusia diberikan sejenis identitas sosial dan personal tertentu sekaligus dieksklusi dari yang lainnya.

Objektifikasi subjek dilakukan dengan beberapa cara, yaitu medikalisasi, stigmatisasi, dan normalisasi. Proses medikalisasi untuk memisahkan subjek menjadi klasifikasi yang lain dalam kasus pandemi covid-19 ini berupa beberapa proses medis mulai dari rapid test, swab test, sampai PCR test yang merupakan proses sampai menyatakan bahwa warga tersebut terinfeksi virus dan harus melakukan karantina. Stigmatisasi juga salah satu cara yang dominan untuk memisahkan subjek dari lingkungan sosialnya dalam situasi pandemi covid-19 ini. Banyak stigma buruk yang beredar di masyarakat tentang virus corona jenis baru ini. Fenomena stigmatisasi semakin menguat dan semakin buruk. Bisa terlihat dari peristiwa penolakan terhadap dokter dan perawat pasien virus corona oleh tetangga di lingkungan domisili tempat tinggal mereka di Jakarta Timur. Kemudian hal yang sama dialami oleh keluarga dari pasien positif corona asal Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Sejak dinyatakan positif, banyak penyematan negatif sampai ke telinga keluarga, pernyataan seperti keluarga sarang virus sampai dianggap pembawa aib. Tidak hanya cibiran yang menyesakkan, sikap paranoid berlebih juga tergambar dari penolakan pemakaman jenazah positif corona yang terjadi di sejumlah daerah.

Situasi ini menimbulkan berbagai stigma negatif di kalangan masyarakat hingga menimbulkan berbagai dampak sosial. Dampak sosial yang terjadi, seperti muncul diskriminasi terhadap pasien dan keluarga pasien. Stigmatisasi negatif terhadap pasien covid-19 memunculkan diskriminasi terhadap subjek dan memisahkan subjek dari sesuatu yang dianggap "normal".

Dalam melanggengkan kekuasaan, ada istilah panopticon sebagai sesuatu teknologi yang menyempurnakan kekuasaan. Dalam dunia yang semakin modern, panopticon dimainkan oleh media, pemegang kekuasaan tidak lagi turun secara langsung untuk mengawasi, namun orang yang diawasi secara sukarela disiplin tanpa perlu diawasi. Sebagai contoh, dengan WHO menyatakan penyebaran covid-19 sebagai pandemi, merilis jumlah kematian yang sangat tinggi dan menggambarkan betapa serius nya situasi sekarang ini, kita serupa orang-orang yang berada di dalam sel-sel yang diawasi covid-19 yang berada di menara pengawas. Kita secara tidak sadar patuh suhu tubuh kita diukur ketika memasuki perkantoran atau fasilitas publik. Kita disiplin cuci tangan pakai sabun. Kita disiplin mengkonsumsi vitamin E atau C untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Kita patuh bekerja, belajar, beribadah, di rumah untuk menjaga jarak fisik dan sosial. 

Dengan banyaknya kasus kematian karena covid-19 ini, perlu juga adanya kontrol khusus dalam populasi manusia itu sendiri dan aktor elit seperti negara (atau yang mempunyai kekuasaan),dalam menjalankan tugasnya untuk mengontrol hal tersebut, disini muncul istilah biopower. Biopower bekerja dalam konsep governmentality dimana menginvestigasi cara-cara organisasi administratif yang dapat mengontrol regulasi populasi. Bagaimana fungsi diskursus, teknologi, dan pengawasan dijadikan alat kekuasaan dalam konteks birokrasi modern. Jika dikaitkan dengan kasus pandemi covid-19 saat ini, pemerintah mengontrol populasi dengan memberikan kekuasaan pada Kementerian Kesehatan dalam melakukan kontrol dan membuat regulasi terkait, Kemenkes lah yang berhak untuk menentukan status seseorang mulai dari OTG, ODP, sampai PDP. 

Jika dilihat lebih dalam, beberapa kekuasaan pun sangat terlihat di situasi seperti ini. Dari kekuasaan pemerintah, sampai kekuasaan yang didapat oleh ilmu pengetahuan, yaitu dokter. Warga Negara saat ini sedang dalam kontrol dan dituntut untuk disiplin guna menghadapi pandemi ini. Secara tidak sadar, Warga Negara terus berada dalam kontrol kekuasaan juga di stimulasi oleh keadaan dan ancaman dari virus itu sendiri, pemerintah pun banyak mengeluarkan kebijakan yang terus berubah-ubah, disatu sisi ingin memberikan hak kesehatan untuk warganya, di sisi lain pemerintah bersikeras untuk menyelamatkan perekonomian Negara. Sampai saat ini, jumlah kasus di Indonesia terus meningkat dan belum ada tanda-tanda kapan pandemi ini akan berakhir.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun