"Bukan seberapa besar emasmu disimpan, tapi seberapa banyak hidup yang ikut kau bangkitkan. Di kota, uang dikejar agar tidak hilang nilainya. Di desa, kepercayaan dipelihara agar uang memberi makna."Â - Catatan kecil dari kandang sapi desa
Krisis ekonomi global, krisis pangan, dan perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan, mereka nyata, sekarang. Ketika dunia mengalami guncangan demi guncangan, mulai dari pandemi, konflik geopolitik, hingga lonjakan inflasi, banyak orang mulai berpikir ulang tentang cara terbaik untuk menyelamatkan aset dan masa depan mereka.
Di tengah gejolak ini, orang-orang kota ramai-ramai membeli emas. Harga emas naik, FOMO (Fear of Missing Out) menyebar. Di sosial media, emas dijadikan simbol "safe haven". Seolah emas adalah satu-satunya jawaban.
Namun di desa kami yang sunyi, jauh dari hiruk pikuk pasar modal dan emas batangan, kami percaya pada sesuatu yang lain, yang lebih nyata, lebih hidup: sapi.
Ketika Sapi Menjadi Tabungan Masa Depan
Kami menyebutnya investasi angon sapi—model kerjasama bagi hasil antara pemilik modal dan peternak. Seseorang dari kota membeli satu atau dua ekor sapi, lalu dititipkan kepada saudara atau tetangga di kampung. Mereka merawatnya hingga siap dijual, dan keuntungan dibagi dua. Sederhana, tapi penuh makna.
Satu ekor sapi bisa menghasilkan keuntungan bersih hingga Rp10 juta dalam setahun. Persentase keuntungannya bahkan bisa lebih tinggi daripada deposito atau kenaikan harga emas dalam jangka pendek.
Lebih dari sekadar angka, sapi di desa adalah investasi yang bernapas. Ia makan, tumbuh, dan menjadi sumber penghidupan. Sapi menggerakkan ekonomi lokal, mempererat hubungan sosial, dan memberikan makna pada uang yang tadinya pasif di rekening.
Para Miliarder pun Ternyata Sepakat
Yang mengejutkan, model investasi kami yang tampak kuno ini justru sejalan dengan pilihan para miliarder dunia.