Mohon tunggu...
Satya Hedipuspita
Satya Hedipuspita Mohon Tunggu... -

Nama saya Satya, diambil dari bahasa Sanskrit yang berarti kebenaran. Kebenaran sejati bukan saya, tetapi saya mengikuti Dia yang adalah kebenaran sejati dan kehidupan sejati. Karena nama ini diberikan orang tua saya bagi saya, maka saya akan berjuang sebagai pewarta kebenaran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mempelajari Iman Sesamaku, Memperkuat Imanku

24 Maret 2016   21:27 Diperbarui: 24 Maret 2016   21:43 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Semua orang berhak atas kesempatan kedua."][/caption]

Ada sekelompok orang mengatakan bahwa fanatik merupakan sikap yang tidak baik dalam kemajemukan. Namun demikian tanpa fanatik, keyakinan yang teguh, seseorang sesungguhnya hanya mayat-mayat yang bernafas. Keyakinan yang teguh akan apa yang dipercaya harus dimiliki oleh setiap pribadi. Bila tidak demikian, tidak ada gunanya beragama, tidak ada gunanya beriman. Namun keyakinan yang kuat itu tidak dimaksudkan untuk menjadi eksklusif, dan tidak dimaksudkan untuk memandang rendah keyakinan dan kepercayaan lain. Mengingat kita hidup dalam kemajemukan, maka fanatik harus tapi ke dalam diri. Dalam kemajemukan itu dituntut tenggang rasa. Pemahaman dan penghormatan terhadap pandangan dan keyakinan lain dituntut untuk dikembangkan dalam kehidupan yang sangat majemuk ini.

Apakah dengan memiliki tenggang rasa maka keyakinan seseorang akan menjadi luntur? Sekelompok orang beragama beranggapan bahwa bila mengijinkan agama lain berkembang maka sebenarnya keimanan kelompok orang tersebut tidak tebal. Apa lagi terhadap orang-orang yang berperan dalam dialog antar agama mereka dianggap sebagai orang-orang yang mengembangkan sinkretisme. Pandangan orang-orang semacam ini tidak dapat disalahkan. Mereka hanya mampu berpikir sampai sejauh itu karena pemuka agama mereka tidak mengajarkan dan mengembangkan pemahaman iman yang bertoleransi terhadap umat agama lain. Kebencian-kebencian yang terbentuk karena pengalaman pribadi di masa lalu menjadi salah satu tolok ukur dalam mengembangkan ajaran agama. Dengan demikian sebenarnya yang seharusnya bertanggung jawab atas kecurigaan, kebencian dan bahkan peperangan antar keyakinan adalah para pemuka agama.

Kita menyadari segala sesuatu di dunia ini ada baik dan buruknya. Bahkan bila kita memahami bahwa perkembangan agama juga diwarnai oleh perkembangan budaya masyarakatnya, maka tentu ada penekanan-penekanan yang manusiawi yang mengganggu kestabilan keagamaan itu sendiri. Dengan kesadaran yang demikian maka kita juga dapat mengatakan sebaliknya, bahwa agama-agama yang berkembang sesungguhnya mengemban nilai-nilai luhur di dalamnya yang dari sana kita dapat belajar untuk meneguhkan iman yang kita miliki sendiri.

Memperhatikan gejolak yang terjadi di masyarakat akar rumput kita menyadari bahwa ada kecurigaan satu orang kepada yang lain dan sebaliknya. Salah satu kecurigaan yang berkembang berbicara dalam ranah agama. Adanya konflik-konflik sosial di tanah air yang dalam beritanya dibumbui dengan faktor-faktor agama menjadikan sebuah bara dalam diri banyak orang. Mungkin saja masyarakat tanpa terungkap ada anggapan, “Kami bisa hidup berdampingan, hanya kami tidak dapat tidur” (Halpern, 2004). Ketakutan yang sedemikian membuat keadaan sosial dan ekonomi kontra produktif, dan akan menyebabkan ketakutan yang seperti bola salju yang semakin memperburuk keadaan di tanah air.

“Seorang yang tidak sadar bahwa dirinya sakit, tidak akan berusaha mencari pengobatan dirinya dan akibatnya orang tersebut tidak akan pernah sembuh dari sakitnya.” Demikianlah kira-kira yang disampaikan istri saya sebagai seorang dokter mengenai upaya kesembuhan pasiennya. Mungkin hal tersebut juga patut kita renungkan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Bila kita tidak merasa bahwa ada masalah dalam kehidupan beragama kita, maka kita juga tidak akan berusaha memperbaiki kehidupann keberagamaan kita. Namun penulis bersyukur bahwa dalam hal ini Kementerian Agama Republik Indonesia masih merasakan adanya masalah dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia dengan memberikan tema “Internalisasi Nilai-nilai Agama dalam Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum sebagai Upaya Peningkatan Kerukunan Umat Beragama.”

Tema yang diangkat menunjukkan kesadaran masih adanya hal-hal yang perlu diupayakan untuk dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dalam ranah hidup berkeagamaan. Bila penulis menilik kalimat tema yang diangkat panitia, penulis berpendapat bahwa; pertama, Perguruan Tinggi adalah obyek sekaligus subyek yang diperhatikan, dan pendidikan agama adalah fokus yang dikaji. Peserta didik sebagai insan dan nilai pendidikan yang lebih mendorong peserta didik menjadi pembelajar menjadikan peserta didik perguruan tinggi sebagai obyek yang dikembangkan dan sekaligus subyek yang didorong untuk berperan secara aktif sebagai subyek untuk mengamalkan ilmu yang diterimanya. Kedua, nilai-nilai agama adalah luhur dan benar, namun demikian nilai-nilai yang luhur dan benar itu ‘sepertinya’ kurang mengalami internalisasi dalam diri peserta didik di perguruan tinggi. Hal ini menjadikan ranah nilai agama yang luhur dan benar menjadi slogan yang indah diperhatikan namun sulit untuk dirasakan, hal ini disebabkan tidak membuminya ilmu yang bersifat transenden ini dalam keseharian kehidupan para peserta didik. Ketiga, kemajemukan adalah sebuah fakta, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada seorangpun yang sama secara identik dengan orang lain. Namun dalam hal ini keberagaman yang diperhatikan secara khusus adalah dalam kehidupan keagamaan. Keempat, bila pokok pikiran kedua tidak diperhatikan atau tidak tercapai, maka hal ini akan menjadi salah satu pemicu berhentinya atau bahkan mundurnya segala upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kehidupan yang rukun antar umat beragama.

Dengan memperhatikan tema di atas, penulis pada kesempatan ini ingin mengangkat judul tulisan Mempelajari Iman Sesamaku, Memperkuat Imanku. Bahan ini merupakan penghayatan dari matakuliah-matakuliah Pengembangan Kepribadian yang penulis ampu di Universitas Pelita Harapan Surabaya. Matakuliah-matakuliah ini diberikan kepada semua peserta didik pendidikan tinggi yang telah menempuh pendidikan agama, atau dengan asumsi bahwa setiap peserta didik telah mendapatkan pendidikan agama yang baik oleh rohaniwan agama mereka, sehingga matakuliah-matakuliah ini merupakan matakuliah-matakuliah lanjutan bagi peserta didik pendidikan tinggi. Jadi paparan ini merupakan sebuah pengembangan dari pendidikan agama yang secara konservatif telah diajarkan pada semua perguruan tinggi di Indonesia.

Tulisan ini memuat tiga pokok pikiran, yang didasari oleh tiga matakuliah. Dalam bab pertama penulis memberi judul Berbeda dan Menikmati Perbedaan, pada bagian ini penulis menekankan bahwa perbedaan adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Konflik yang dihadapi sering kali diakibatkan pemahaman-pemahaman yang dangkal yang dilandasi ketidakmengertian akan pemahaman lain. Untuk lepas dari konflik yang mempertajam perbedaan maka perlu empati yang dikembangkan untuk terbuka belajar. Dengan belajar mengenakan sepatu orang lain, setiap peserta didik akan melihat bukan dari sisi mereka sendiri melainkan dari sisi orang lain. Pada pokok pikiran yang kedua Belajar Memanusiakan Manusia, pada bagian ini penulis memaparkan bagaimana setiap peserta didik perlu belajar tentang kemanusiaan manusia, sehingga dapat memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia adalah salah satu tujuan akhir, karena setiap peserta didik diajak untuk menghayati kehidupan yang dijalaninya, dari penghayatan itu mereka diharapkan dapat melihat manusia secara utuh dan kemudian memberi penilaian bukan berdasarkan apa yang dilakukan tetapi berdasarkan nilai jati diri dari manusia tersebut. Pada bagian yang ketiga penulis mengangkat tema Kerjasama dan Bersama Bekerja Mewujudkan Keberimanan. Dengan menggunakan bahan ilmu budaya dasar, yang dipahami dengan filsafat kritik ideology, dengan berakar pada bahan pelajaran nilai-nilai agama-agama dan kemanusiaan, dikemas dengan kegiatan community service, mendorong setiap peserta didik untuk mempraktekkan keberimanan mereka dalam komunitas-komunitas yang membutuhkan perhatian.

Dengan keyakinan bahwa nilai-nilai agama merupakan nilai-nilai luhur dalam penghayatan keberimanan yang tidak hanya berorientasi vertikal tetapi juga horisontal, karena itu dalam kehidupan bermasyarakat yang sangat majemuk ini perlu dikembangkan sikap kesalehan sosial. Kesalehan sosial adalah sebuah sikap keimanan kepada Sang Khalik yang tercermin dalam kehidupan sosial. Hal ini tidak berarti bahwa masyarakat sosial itu harus memiliki satu keyakinan yang sama, namun bagaimana keyakinan yang dihayati oleh masing-masing orang tercermin secara nyata dan dipraktekkan secara tulus dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Bagaimana fanatik yang bersifat pribadi dikelola menjadi kepedulian kepada sesama. Inilah sebuah solusi yang rasanya dibutuh

Berbeda dan Menikmati Perbedaan
Berbeda adalah sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri. Secara individu, setiap orang tidak ada seorangpun yang sama, dilihat dari sisi manapun kita akan melihat perbedaan. Ada banyak ragam perbedaan yang dapat diungkapkan, mulai dari bentuk fisik dan gaya berpakaian hingga cara berpikir dan ideologi serta keyakinan yang tidak sama. Karena memang setiap individu secara unik diciptakan maka tidaklah terlalu mengherankan bagi kita bila dalam keseharian kita jumpai wujud-wujud perbedaan tersebut, mulai dari yang sangat sederhana dan nyata hingga yang rumit dan tersamar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun