Oleh : Nesya Mayelin Putri, Duta Pendidikan Muda Indonesia Perwakilan Banten
Menurut Syabani (2019), Fear of Missing Out atau FOMO adalah rasa takut ketinggalan hal menarik yang dilakukan orang lain, atau takut dianggap tidak eksis dan up to date. Hal ini biasanya diartikan negatif karena mengacu pada ranah konsumerisme. Namun di antara gelombang FOMO yang menjerumuskan kita ke dalam penyesalan, ada satu FOMO "baik hati" yaitu FOMO membaca buku. Siapa sangka, ketakutan ketinggalan cerita baru justru menjadi mesin dalam perubahan?
Di era globalisasi, penggunaan media sosial dan aplikasi digital lainnya menjadi sebuah tantangan untuk mempertahankan angka minat baca pada anak muda di Indonesia. Penelitian dari Pew Research Center (2021) menunjukkan bahwa pengguna media sosial berat membaca buku 20-30% lebih sedikit daripada yang tidak. Di Indonesia, survei Perpustakaan Nasional (2022) mengungkapkan bahwa hanya 0,001% penduduk rajin membaca buku per tahun, sementara 70% remaja menghabiskan waktu lebih banyak untuk konten pendek.
Menonton konten pendek seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts memiliki beberapa dampak negatif dapat menurunkan attention spend, menurunkan daya ingat, menyebabkan ketergantungan, dan kemudahan untuk termakan berita hoax. Selain itu, scrolling juga dapat memberikan dampak pada konsumerisme karena masyarakat seringkali terperangkap dalam FOMO siklus belanja online yang berdampak dalam terjadinya fast fashion.
Di sisi lain, FOMO membaca buku bukanlah "racun manis", yang menyenangkan di awal namun melemahkan di akhir, bukan juga sebuah dorongan impulsif dalam membeli barang-barang mewah ataupun mengikuti hal yang justru menghambat self improvement kita. Data UNESCO mengutip mengenai rendahnya literasi di Indonesia, yang berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara dalam minat baca pada tahun 2016, dengan hanya sekitar 0,001% penduduk yang rajin membaca buku per tahun. FOMO membaca buku yaitu dorongan dalam mengeksplor buku-buku lokal seperti "Laskar Pelangi" ataupun "Filosofi Teras" yang dapat memberikan perubahan pada angka literasi di Indonesia.
Namun, untuk benar-benar menjadikan FOMO membaca buku sebagai gerakan nasional, diperlukan sinergi lintas sektor antara pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas literasi, dan media sosial. Pemerintah dapat memanfaatkan teknologi untuk menciptakan platform literasi digital nasional yang dapat digunakan oleh siswa dan masyarakat untuk membaca, berdiskusi, dan mendapatkan hadiah atas aktivitas mereka. Bagaimana jika semua sekolah memiliki “Papan Peringkat Literasi” seperti dalam aplikasi game, yang menampilkan siapa yang membaca buku terbanyak bulan ini. Tidak lagi kompetisi untuk memamerkan pakaian atau perangkat, tetapi kompetisi untuk mengisi pengetahuan. Dengan cara ini, FOMO yang sebelumnya bersifat konsumtif dapat diubah menjadi energi kompetitif yang berbasis pembelajaran.
Selain itu, industri swasta juga berkontribusi secara signifikan. Perusahaan dapat mengimplementasikan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dalam literasi, misalnya dengan mengalokasikan anggaran untuk perpustakaan mobile atau menyediakan akses gratis ke e-book di daerah terpencil. Startup digital juga dapat berinovasi melalui aplikasi membaca interaktif yang mengintegrasikan fitur sosial seperti ulasan, komentar, dan lencana pencapaian untuk membangun rasa kebersamaan di antara pembaca. Di era media sosial, berkolaborasi dengan influencer literasi juga menjadi strategi yang efektif. Bayangkan jika selebriti Instagram atau YouTuber populer menciptakan tren baru: #BookFOMOChallenge, di mana mereka menantang pengikutnya untuk membaca satu buku seminggu dan berbagi wawasannya. Tantangan sederhana ini dapat mengubah kebiasaan orang.
FOMO membaca buku memberikan peluang yang lebih besar untuk meningkatkan kohesi sosial antar generasi. Di tengah pesatnya digitalisasi, kegiatan membaca dapat berperan sebagai penghubung antar generasi, antara orang muda dengan orang tua, guru dengan murid, bahkan masyarakat perkotaan dengan masyarakat pedesaan. Diskusi buku antargenerasi tidak hanya bermanfaat untuk memperluas wawasan, namun juga untuk berempati serta menghargai perbedaan. Membaca dan berdiskusi membantu masyarakat untuk lebih mendengarkan sebelum menilai dan memahami sebelum menyimpulkan, sebuah nilai yang penting untuk menghormati perbedaan. Di sisi lain, jika FOMO membaca buku terus diimplementasikan, Indonesia tidak hanya akan memiliki banyak pembaca, namun juga pembelajar seumur hidup. Setiap orang akan terus berusaha untuk memperoleh lebih banyak pengetahuan, membantu masyarakat untuk lebih cepat beradaptasi menghadapi perubahan.
Hal ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045, juga sejalan dengan SDGs no. 4 yaitu pendidikan berkualitas. Dengan demikian, FOMO membaca buku merupakan bentuk ketakutan yang mendatangkan keberanian, keberanian untuk mengetahui, berpikir, dan berkembang. Di zaman yang semakin cepat berputar, kegiatan membaca buku menjadi sebuah revolusi. FOMO tidak perlu kita khawatirkan, justru dapat kita manfaatkan untuk proses belajar. Sebab, sebuah bangsa yang rajin membaca adalah bangsa yang siap menghadapi masa depan.
Gerakan ini dapat memulai pendidikan yang lebih inklusif dan berkeadilan. Dengan FOMO membaca buku, kepada masyarakat dari berbagai latar belakang dapat disamakan. Masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha dapat berkolaborasi untuk menyediakan buku-buku yang terjangkau, meningkatkan keterampilan membaca dengan alat digital, dan menyediakan ruang baca yang publik, nyaman dan estetik. Dengan konsistensi budaya ini, membaca tidak lagi menjadi aktivitas sampingan bagi segelintir orang, tetapi menjadi budaya di seluruh masyarakat. FOMO untuk membaca buku tidak lagi menjadi gerakan literasi tetapi menjadi simbol bagi kebangkitan intelektual Indonesia yang siap bersaing di dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI