Di dunia yang semakin gaduh oleh ego, dendam, dan sikap saling menyalahkan, masih ada sosok yang memilih diam. Bukan karena tidak mampu bersuara, tapi karena ia tahu bahwa suara yang paling kuat kadang datang dari ketulusan untuk memaafkan.
Ia hanya satu. Satu hati. Tapi sepanjang hidupnya, sudah lebih dari seribu luka yang ia terima. Dari mereka yang ia cintai. Dari situasi yang tak adil. Dari perlakuan yang membuatnya merasa kecil, tak cukup, dan tak layak.
Namun hari ini, ia masih tersenyum.
Tak mudah menjadi perempuan di zaman ini. Banyak peran yang harus dimainkan, banyak ekspektasi yang harus dipenuhi. Jadilah anak yang baik. Jadilah istri yang patuh.
 Jadilah ibu yang sabar.Â
Jadilah pekerja yang cekatan.
 Semua tuntutan itu kadang mengikis jati diri.
Tapi ia tetap menjalani. Sambil membawa luka-luka yang tak selalu tampak. Luka dari kata-kata yang tak pernah diluruskan. Luka karena cinta yang tak dibalas dengan setara. Luka karena harapan yang dipatahkan oleh realita.
Tetapi yang membuatnya luar biasa bukan jumlah lukanya, tapi pilihan hatinya: ia tetap memaafkan.
Memaafkan Bukan Berarti Melupakan
Ia tahu bahwa memaafkan bukan berarti membiarkan semuanya berlalu tanpa keadilan. Ia tidak buta. Ia tidak mudah. Ia hanya memilih untuk tidak menambah luka dengan membalas luka.
Ia tidak ingin hidupnya dikendalikan oleh dendam. Karena menyimpan luka tanpa ampunan seperti memelihara api kecil yang perlahan membakar diri sendiri.
Memaafkan bukan hadiah untuk orang yang menyakiti, tapi bentuk penghormatan untuk diri sendiri---bahwa ia pantas hidup damai.
Ketika Dunia Tak Memahami
Ia pernah berbicara, tapi tak didengar. Pernah mengeluh, tapi dianggap lebay. Pernah mengungkap luka, tapi dibungkam dengan kalimat, "Kamu terlalu sensitif."
Maka ia belajar diam. Tapi dalam diamnya, ia membangun kekuatan. Ia menciptakan ruang untuk pulih. Bukan untuk kembali pada yang melukai, tapi untuk kembali mencintai diri sendiri.
Pesan untuk Mereka yang Sedang Berjuang
Untuk kamu yang membaca ini dan sedang terluka: jangan paksa hatimu sembuh hari ini. Tapi jangan juga biarkan hatimu tinggal selamanya dalam luka. Pulihlah pelan-pelan. Tak apa lambat, asal kamu tetap berjalan.
Memaafkan itu seperti menyapu reruntuhan rumah. Tidak selesai dalam satu hari. Tapi sedikit demi sedikit, rumah itu bisa dibangun kembali dan kamu bisa tinggal di dalamnya dengan tenang.
Bukan karena ia kuat sejak awal, tapi karena ia memutuskan untuk tetap mencintai dunia, bahkan ketika dunia tidak mencintainya dengan cara yang benar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI