Tujuh bulan sudah pandemi Covid-19 menghantam Indonesia. Bagaimana nasib anak-anak Indonesia, terutama mereka yang berada dalam garis kemiskinan? Sudah bisa dibayangkan kehidupan mereka kian terpuruk. Jangankan mereka, anak-anak yang kehidupan sebelumnya lebih baik saja, juga merasakan dampaknya.
Dalam satu keluarga, dalam situasi seperti itu, balita adalah kelompok yang paling rentan. Mereka sangat tergantung pada orang tua dalam pemenuhan gizinya, dan kebutuhan ini seringkali tergeser oleh kebutuhan keluarga yang lain. Seringkali anak usia dini atau balita di Indonesia mengalami kelaparan pada saat pagi hingga siang hari.
Covid-19 yang tiba-tiba menghantam sendi-sendi kehidupan masyarakat membuat kemiskinan kian bertambah, juga meningkatnya angka pengangguran. Tingkat pendidikan yang rendah membuat keluarga tak mampu berbuat banyak. Keluarga dan anak-anak yang jatuh miskin dalam waktu singkat akan mengalami dampak berat akibat kondisi ini.
Rasanya miris, selama 92 tahun Sumpah Pemuda diperingati masih saja kelaparan mewarnai negeri ini. Lihat saja hasil survei Foodbank of Indonesia (FOI) pada Agustus 2020 di 14 kota, sebanyak 27% balita mengalami kelaparan karena tidak makan dari pagi hingga siang hari. Bahkan di daerah padat perkotaan, angkanya bisa mencapai 50%.
Begitu persoalan yang mengemuka dalam diskusi virtual bertajuk "Catatan di Hari Sumpah Pemuda: Media Bisa Akhiri Kelaparan pada Balita" yang saya ikuti, Rabu (28/10/2020). Diskusi yang diinisiasi FOI ini dibuka oleh Dr. Ir. Eni Harmayani, M.Sc, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (FTP UGM).
Diskusi ini menghadirkan Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Lenny N Rosalin, Hendro Utomo selaku founder FOI, wartawan Kompas Andreas Maryoto, artis Shanaz Haque, dan Ketua Yayasan Lumbung Pangan Indonesia Wida Septarina.
Dalam diskusi tersebut disampaikan jika kelaparan ini terjadi dalam jangka panjang dan tidak teratasi, kemungkinan anak akan mengalami gizi buruk yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
"Melihat kondisi ini, peluang generasi yang hilang dalam situasi pandemi Covid-19 semakin terbuka, seperti yang terjadi pada rentang 1997 dan 1998 saat terjadinya krisis ekonomi," kata Hendro Utomo.
Selaku founder FOI, kegiatan diskusi ini dikatakan sebagai upaya FOI agar terus bergerak memerangi kelaparan pada balita untuk mencapai impian Indonesia merdeka.Â
Melalui kegiatan ini, pihaknya berharap media mengedukasi masyarakat bahwa balita adalah masa depan Indonesia yang harus dipenuhi nutrisinya melalui pangan lokal.
Dikatakan, media bisa melakukan banyak hal untuk membantu anak-anak balita demi masa depan Indonesia dengan cara membangun kesadaran, mengangkat pentingnya narasi pangan yang baik untuk anak-anak dan mengubah perilaku yang menyebabkan 27% anak-anak balita kita masih menderita kelaparan.
Â
Sementara itu, Lenny N Rosalin mengungkapkan, berdasarkan laporan sensus penduduk pada Maret 2020 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), rokok kretek filter ternyata menjadi pengeluaran terbesar kedua di dalam keluarga jauh di atas pemenuhan protein seperti telur ayam dan daging ayam, baik di kota maupun di desa.
Lenny merinci sebagaimana yang dikutipnya dalam laporan BPS tersebut, pengeluaran rokok kretet filter untuk keluarga di perkotaan mencapai 12,2% sedangkan di desa sekitar 10,9%. Pengeluaran untuk beras di perkotaan sebesar 20,2%, sedangkan di desa sekitar 25,3%.