Mohon tunggu...
Negara Baru
Negara Baru Mohon Tunggu... Freelancer - Tentang Saya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi Sudut Pandang Baru Negara Kita

Selanjutnya

Tutup

Politik

Garuda Indonesia, di Antara WN China dan WNI Papua

19 Maret 2020   19:13 Diperbarui: 20 Maret 2020   15:19 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
GI. TheJakartaPost.com


Covid-19 menghantui Indonesia. Berdasarkan data 18 Maret 2020, kasus positif corona mencapai 227 kasus. Sebanyak 227 kasus itu, 11 pasien dinyatakan sembuh. Namun 19 orang telah meninggal dunia akibat virus itu. Artinya persentase mortality wabah Covid-19 di Indonesia berada di angka 8,37 persen. Tertinggi di dunia.

Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Unpad mengatakan besar kemungkinan fenomena ini terjadi karena Indonesia mengalami under-diagnosis. Ia menduga ada kasus Covid-19 yang tidak terdeteksi disebabkan karena gejala yang dirasakan masih ringan, RS atau dokter belum aware, atau bahkan sebagian yang tidak terdiagnosis meninggal lebih awal. Seandainya lebih banyak kasus dengan gejala yang masih ringan ditemukan tentu persentase kematian ini dapat ditekan.

Dengan kata lain angka kematian Covid-19 di Indonesia tinggi bukan karena virusnya yang ganas, melainkan penanganan mencari dan aware terhadap orang yang berpotensi terkena virus kurang digalakkan. Semakin cepat pasien didiagnosis, maka kemungkinan kematian yang terjadi tidak setinggi itu.

Sumber : Kompas [Presentase Kematian Corona Indonesia Tertinggi di Dunia, Ini Kata Ahli]

Inilah yang dimaksud dengan Covid-19 menghantui Indonesia. Rakyat Indonesia bisa jadi belum mengetahui bahwa sebenarnya mereka telah terasuki corona. Tapi bagaimana mungkin corona dapat didiagnosis dengan cepat ketika beberapa rumah sakit swasta saja menolak pasien terindikasi Covid-19? Hal itu bahkan terjadi baru-baru ini di kota besar seperti Bekasi, sehingga menyebabkan Jubir Corona blak-blakan memebeberkan skandal Rumah Sakit yang menolak pasien demi menjaga citranya sendiri.

Apabila di Jabodetabek saja masih sulit untuk melakukan diagnosis corona, tentu kita tak bisa membayangkan hal yang terjadi di daerah lain yang belum memiliki fasilitas kesehatan seperti di Pulau Jawa.

Kita tengok saja di Papua. Pada 18 Maret 2020, Pasien Dalam Pengawasan (PDP) di provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia tersebut kian bertambah. Bahkan seorang bayi yang masih berusia 7 bulan turut dirawat di ruang isolasi Rumah Sakit Dian Harapan Waena, Jayapura, karena menunjukkan gejala serupa Covid-19.

Lambatnya penanganan PDP di Papua diperparah dengan kurangnya tenaga medis yang dapat menangani pasien terindikasi corona.

Bukan karena jumlah tenaga medisnya kurang. Tapi karena hingga saat ini tenaga kesehatan rumah sakit yang ada di Papua masih kekurangan Alat Pelindung Diri (APD). Bayangkan saja peralatan yang dibutuhkan tenaga medis dalam menghadapi corona di Papua hanya sebanyak 30 APD.

Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Silwanus Sumule mengatakan idealnya Papua harus memiliki 5000 APD untuk digunakan di 29 Kabupaten/Kota yang ada di Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun