Mohon tunggu...
nazar
nazar Mohon Tunggu... warga sipil

saya suka mengamati sesuatu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Makanan Bergizi Gratis: Janji Politik Yang Kini Jadi Ujian Kekuasaan

7 Oktober 2025   16:45 Diperbarui: 7 Oktober 2025   16:44 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) bukan sekadar kebijakan sosial. Ia adalah simbol besar dari janji politik Prabowo–Gibran yang dulu diulang-ulang di panggung kampanye, dan kini sedang diuji di panggung pemerintahan. Ide dasarnya sederhana: negara harus hadir memastikan setiap anak Indonesia mendapat gizi yang layak. Tapi seperti banyak janji politik lain, yang sederhana di kata sering kali rumit di pelaksanaan.

Pemerintah mengumumkan bahwa MBG akan menjadi program prioritas nasional. Targetnya ambisius: mengatasi masalah gizi buruk, menekan angka stunting, dan membangun generasi yang lebih sehat. Secara moral, tujuan ini sulit dibantah. Indonesia memang masih bergulat dengan ketimpangan gizi dan kemiskinan pangan. Namun pertanyaan yang muncul justru bukan “mengapa”, melainkan “bagaimana”.

Kebijakan publik sebesar ini tidak bisa hidup hanya dari niat baik. Ia butuh arah, data, dan desain kebijakan yang matang. Karena kalau tidak, ia akan berhenti di permukaan — hanya jadi slogan kampanye yang berubah baju menjadi program negara. Sejarah sudah berulang kali menunjukkan, banyak program populis yang berakhir sebagai proyek citra, bukan solusi.

Masalah pertama yang muncul adalah soal realitas fiskal. Biaya untuk menjalankan MBG tidak kecil — bisa mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Pemerintah memang berhak berambisi, tapi anggaran negara tidak bisa diperlakukan seperti kotak ajaib. Pertanyaan adalah “dari mana uangnya?” kata-kata pepatah dahulu, tapi bentuk kewaspadaan publik. Karena setiap rupiah untuk program baru berarti ada prioritas lain yang harus dikorbankan. Jika tidak transparan, rakyat berhak curiga apakah “makanan bergizi gratis” ini benar-benar gratis, atau dibayar mahal lewat utang dan potongan subsidi sektor lain.

Kritik berikutnya datang dari cara pelaksanaan. Indonesia punya sejarah panjang kebocoran anggaran pada program bantuan sosial. Ketika uang besar berpindah tangan, risiko penyimpangan ikut tumbuh. Dalam konteks MBG, potensi korupsi bisa terjadi mulai dari pengadaan bahan pangan, kerja sama penyedia katering, sampai distribusi ke sekolah-sekolah. Kalau sistem pengawasan publik lemah, niat baik pemerintah akan dikubur oleh mental rente birokrasi.

Masalah lain yang jarang dibahas adalah mentalitas penerima. Kebijakan yang terlalu konsumtif, seperti program makanan gratis, berpotensi menumbuhkan ketergantungan baru. Rakyat merasa cukup menerima, bukan berdaya menciptakan. Padahal, persoalan gizi tidak cukup diselesaikan dengan memberi makan — tapi dengan memperbaiki akar kemiskinan, pendidikan, dan akses ekonomi.

Namun bukan berarti program ini salah. MBG punya potensi besar jika dikelola dengan visi yang benar: bukan hanya memberi makan, tapi juga menghidupkan ekonomi rakyat. Pemerintah bisa memberdayakan petani lokal sebagai pemasok bahan pangan, menggandeng UMKM sebagai penyedia jasa, dan memastikan rantai pasoknya memutar ekonomi desa. Kalau jalurnya seperti itu, maka MBG bukan cuma tentang anak kenyang, tapi juga tentang petani sejahtera.

Tantangan terbesar pemerintahan Prabowo–Gibran bukan sekadar menepati janji, tapi membuktikan bahwa janji itu lahir dari rencana, bukan sekadar retorika. Karena setiap kebijakan populis menyimpan godaan besar: mudah dijual, tapi sulit dijalankan. Jika MBG berhasil, itu akan menjadi warisan sosial penting. Tapi jika gagal, ia akan dicatat sebagai contoh klasik bagaimana politik karisma gagal diterjemahkan menjadi politik kebijakan.

Kita semua ingin rakyat mendapat gizi yang layak. Tapi lebih dari itu, rakyat juga berhak mendapat pemerintahan yang jujur, efisien, dan berpihak. Program besar seperti MBG hanya akan punya makna ketika niat baik dibarengi dengan kejujuran dan ketegasan dalam menjalankan kebijakan. Tanpa itu, rakyat mungkin memang kenyang — tapi kekuasaan tetap lapar akan pujian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun