Mohon tunggu...
Nayyir Mubarok
Nayyir Mubarok Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa MHU UIN WALISONGO

Mahasiswa MHU UIN WALISONGO SEMARANG

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelaah Sejarah Perjalanan Ibadah Haji Indonesia

22 November 2020   12:12 Diperbarui: 22 November 2020   12:27 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menunaikan ibadah haji ke tanah suci merupakan cita-cita setiap muslim, ditambah lagi sekarang harus mengantri bertahun-tahun untuk bisa berangkat. Namun itu itu semua tidak menyurutkan euforia ummat muslim untuk mendaftar haji tiap tahunnya. Berdasarkan data pada tahun 2019 jumlah pendaftar haji mencapai 710 ribu jemaah. Namun tidak seiring dengan penambahan jumlah kuota haji yang bertambah. Imbasnya adalah kepada lamanya waiting list jamaah yang telah mendaftar rata-rata 23 tahunan bahkan ada yang sampai 30 tahunan. Maka orang yang telah mendaftar haji harus ekstra sabar dalam menunggu tahun keberangkatannya. Hal ini akan terus berlanjut dengan semakin banyaknya orang yang terus pergi mendaftarkan dirinya.

Antusiasme masyarakat muslim Indonesia terhadap daftar haji ini perlu di imbangi dengan edukasi mengenai serba-serbi haji. Agar mereka mengetahui dan paham tata cara pelaksanaan ibadah haji. Bahkan alangkah lebih baiknya ditambah dengan pengetahuan sejarah perjalanan haji, untuk menambah wawasan para jemaah haji Indonesia. Dengan sejarah kita bisa bercermin bahwa perjalanan haji masa lalu bahwa dalam penyelenggaran ibadah haji bisa berangkat langsung namun susah dalam akomodasinya.

  • Haji Masa Kolonial

Perjalanan Haji pada masa itu erat kaitannya dengan perdagangan dan pelayaran lintas laut. Kemudian terbentuknya komunitas Muslim Nusantara yang dimulai di Aceh dengan berdirinya Samudera Pasai sebagai Kerajaan Islam pertama pada abad XIII. Pembentukan komunitas Muslim ini berkaitan erat dengan jalur pelayaran antara Arab, India, Selat Malaka hingga ke China. Menurut Lewis Barthema yang menyamar sebagai Muslim pada tahun 1503 pernah menyaksikan sejumlah penduduk dari Lesser East Indies (Kepulauan Nusantara) melaksanakan Haji, menurutnya mungkin sekali mereka itu tercatat sebagai penduduk pertamakali yang berhaji.

Pada akhir abad ke-19 perjalanan haji Nusantara mengalami kenaikan sebanyak 40%. Para jamaah haji yang melakukan kegiatan ibadah haji pada masa kolonial sekita abad ke-19 banyak dimotivasi karena untuk menuntut ilmu agama islam langsung dari kota yang menjadi sumbernya yaitu Mekah dan Madinah. [1]Mereka yang belajar di tanah suci pada umumnya mempunyai tujuan selain untuk dapat memperoleh ilmu yang cukup, ada juga dari mereka yang ikut berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan yang berbau politik yang bertujuan untuk mencari dukungan dari berbagai pihak guna mengusir penjajah Indonesia dan memerdekakan indonesia. Karena semakin menjamurnya faham Pan Islamisme yang berkembang di timur tengah pada saat itu. Maka tidak heran para jamaah yang telah pulang ke tanah air disebutnya dengan ulama haji.

Merasa terancam akan mulainya pergerakan dari rakyat Indonesia yang dimotori oleh para ulama haji yang membawa faham Pan Islamisme[2] pemerintah kolonial pun tidak tinggal diam. Dalam upaya untuk mengantisipasi gerakan yang dilakukan oleh orang-orang yang telah melaksanakan haji yang dapat menumbuhkan fanatisme agama di masyarakat. Maka Pemerintah Hindia Belanda membuat berbagai peraturan berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji salah satunya adalah ordonansi 1859.

Yang paling menonjol dari ordonansi baru ini adalah pemberlakuan semacam "ujian haji" bagi mereka yang baru pulang dari Tanah suci. Mereka harus membuktikan benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Jika seseorang sudah dianggap lulus ujian ini, ia berhak menyandang gelar haji dan diwajibkan mengenakan pakaian khusus haji (jubah, serban putih, atau kopiah putih). Dari sinilah sebenarnya dimulai penyematan gelar haji, juga atribut fisik yang melekat pada orang-orang yang sudah menunaikan rukun Islam kelima, kepada penduduk pribumi.

  • Haji Masa Orde Lama

Pada kurun waktu 1945-1949 Merupakan masa transisi bagi perjalanan haji Indonesia,  dengan tidak karena perang di dalam negeri melawan tentara Belanda yang dibantu oleh tentara sekutu. di dalam negeri,  pemerintah Indonesia belum sempat untuk menata perjalanan haji, sementara di Arab Saudi belum terbentuk perwakilan Indonesia yang mengurusi jemaah haji sebagai pengganti kedutaan Belanda di Jeddah yang telah dibekukan aktivitasnya sejak tahun 1940.  

Pada tahun 1950 menjadi titik awal dari babak baru perjalanan haji di Indonesia dengan ditandai penyerahan dan pengambilalihan pengurusan haji dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama. Peralihan itu di serahkan kepada yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI) yang berstatus swasta. Dalam edaran Mentri Agama AIII/I/110 tanggal 19 Mei 1950 dinyatakan bahwa urusan haji ditingkat dua berbentuk kepanitiaan dibawah koordinasi dan tanggung jawab Bupati.[3]

  • Haji Masa Orde Baru

Mulai pada tahun 1970 Pemerintah Indonesia membuat perjanjian dengan sungguh-sungguh. Karena sebelumnya hanya terbatas sebagai regulator dan fasilitator semata, sementara pelaksanaan perjalanan haji diserahkan pada pihak swasta atau lembaga semi swasta di bawah koordinasi yayasan perjalanan haji indonesia (PHI). Pemerintah terlibat dalam pengelolaan perhajian ini karena ketidakmampuan pihak swasta dalam penyelenggaraan perjalanan haji sehingga merugikan jamaah haji seperti mengalami kesulitan dalam persewaan kapal dan mengalami keterlambatan karena perubahan jadwal pesawat oleh Internasional Civil Transport Asia. 

Dengan Keputusan Presiden No.22 Tahun 1969, Presiden RI langsung menetapkan bahwa keseluruhan penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan oleh pemerintah mulai dari pendaftaran sampai dengan kembali ke tanah air. Presiden Soeharto dalam pidatonya pada peringatan Isra Mi'raj tahun 1969 menegaskan bahwa kebijakan tentang haji itu pemerintah tidak bermaksud untuk membatasi umat Islam dalam melaksanakan ibadahnya tetapi justru untuk menertibkan pelaksanaan ibadah haji dan melindungi umat Islam dari praktik oknum swasta yang banyak menimbulkan kekecewaan dan kerugian bagi para jamaah haji.

Pada 1976, ada perubahan tata kerja dan struktur organisasi PIH yang dilakukan oleh Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji (BIUH). Sebagai panitia pusat, Dirjen BIUH melaksanakan koordinasi ke tiap-tiap daerah tingkat I dan II di seluruh Indonesia. Sistem koordinasi dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh Dirjen BIUH. Beberapa panitia penyelenggara di daerah juga menjalin koordinasi dengan Badan Koordinator Urusan Haji (BAKUH) ABRI, hal ini dikarenakan BAKUH ABRI memiliki lembaga tersendiri untuk pelaksanaan operasional PIH.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun