Mohon tunggu...
Moh Nur Nawawi
Moh Nur Nawawi Mohon Tunggu... Nelayan - Founder Surenesia

Seorang pecinta dunia maritim / Pelayan dan Pengabdi Masyarakat / suka menulis, bercerita dan berdiskusi / @nawawi_indonesia nawawisurenesia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Ratifikasi STCW-F 1995 Akankah Menjadikan Nasib Pelaut Kapal Ikan Indonesia Lebih Baik

26 Juni 2020   11:18 Diperbarui: 26 Juni 2020   11:23 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelaut Kapal ikan warga negara Indonesia kembali membentot perhatian publik. Dalam video yang ditayangkan oleh media Korea Selatan MBC baru-baru ini diperlihatkan footage ketika jenazah pelaut Indonesia yang bekerja di atas Kapal ikan berbendera China Long Xin dilarung ke laut. Kendati ini prosedur standar tetap saja publik yang awam dengan tradisi dalam dunia pelayaran menangkap kesan tidak manusiawi tatkala jenazah dilepas ke laut. Emosi massa pun teraduk-aduk.

Kasus diatas adalah salah satu kasus dari sekian banyak kasus memilukan yang menimpa para pelaut kapal ikan Indonesia. Kasus pelanggaran HAM bukan satu dua kali dialami oleh pelaut kapal ikan Indonesia, pelaut kapal ikan Indonesia masih dalam kondisi yang belum sepenuhnya terproteksi oleh regulasi di negeri ini.

Dikutip dari akurat.co, Berburu atau menangkap ikan (fish hunting) bisa jadi satu-satunya profesi dari masa purba yang masih tersisa hingga zaman modern ini. Saya meyakini bahwa berburu adalah ekspresi bagi sifat-sifat hewani yang ada dalam diri manusia. Sarana dan prasarana pendukungnya saja yang membedakan perburuan masa purba dengan perburuan era sekarang. Berburu ikan kini dilakukan dengan Kapal canggih dengan kapasitas tampung yang besar. Tetapi karakteristik dasarnya tetap sama dari waktu ke waktu. Yaitu, pemburu akan melakukan apa saja demi mendapatkan apa yang dikejarnya. Menipu, menjebak atau yang lainnya. Di zaman sekarang berburu ikan malah menggunakan bahan peledak.

Pada saat fish hunting bertransformasi menjadi industri yang melibatkan banyak orang/pekerja karakteristik personal tadi terbawa dengan sendirinya dan menjadi corporate value bagi perusahaan Kapal ikan. Lihatlah bagaimana perusahaan ini merekrut calon ABK. Para pelaut, kebanyakan pemuda di perkampungan nelayan miskin yang tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang cukup, ditipu atau dijebak dengan utang yang tak akan bisa dibayar kecuali dengan bekerja untuk sang pengusaha.

Pertanyaannya kini, bagaimana way out untuk masalah perbudakan di laut yang menimpa pemuda-pemuda Indonesia? Sebelum menjawab saya ingin menggarisbawahi dulu bahwa kemiskinan adalah akar persoalan sea slavery. Karena miskin, pemuda-pemuda itu berutang hanya untuk sekedar makan. Utang bisa dilakukan baik oleh mereka sendiri maupun orang tuanya.

Keluar dari fenomena perbudakan pelaut kapal ikan kita yang berakar dari permasalahan kemiskinan mari kita menegok tentang pelaut kapal ikan yang memiliki kopetensi yaitu para pelaut yang nasibnya mungkin sedikit lebih beruntung dari pada korban perbudakan seperti cerita diatas. Para pelaut ini adalah pelaut-pelaut lulusan sekolah atau akademi perikanan yang memiliki sertifikat keahlian sebagai pelaut yaitu ahli nautika (untuk pelaut deck) dan ahli teknika (untuk pelaut mesin) kapal penangkapan ikan.

Dengan kopetensi yang sudah dimiliki bukan serta merta pelaut kapal ikan bersertifikat bisa menyetarakan kesejahteraannya seperti para pelaut yang bekerja dikapal niaga, aksi penyetaraan ijazah pelaut dari sertifikan pelaut kapal ikan ke sertifikat pelaut kapal niaga (ANKAPIN/ATKAPIN ke ANT/ANT) adalah bukti bahwa kondisi dunia perikanan belum menjanjikan penghasilan yang layak bagi pelaut kapal ikan. Melimbahnya sumberdaya aquatik atau kita kenal dengan biodiversity tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima oleh para pelaut kapal ikan.

Bukti lainnya adalah sangat sedikit kapal-kapal perikanan yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia (WPPNRI) yang dioperatori oleh para pelaut-pelaut yang memiliki kopetensi atau para pelaut kapal ikan yang lulusan sekolah atau akademi perikanan, menjamurnya sekolah dan akademi perikanan hanya mampu memproduksi banyaknya sertifikat keahlian pelaut tapi justru tidak banyak yang digunakan untuk bekerja dikapal ikan. Kapal-kapal ikan justeru banyak dioperatori oleh orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan perikanan, kebanyakan adalah orang umum yang telah lama bekerja dikapal dan akhirnya mengurus surat kecakapan pelaut yang diterbitkan oleh Pemerintah.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2011, jumlah pelaut perikanan sebanyak 2.237.640 orang, jauh lebih besar dibandingkan dengan para pelaut kapal niaga yang berjumlah 338.224 orang. Memang belum semua pelaut perikanan memiliki sertifikat kompetensi yang dapat menjadi acuan kompetensi dalam persaingan dalam dunia kerja internasional tapi data tersebut harusnya menjadi alarm bagi para pemangku kebijakan untuk terus fokus pada pembenahan kebijakan bagi industri perikanan khususnya bagi para pelaut kapal ikan.

Beragam permasalahan diatas dapat menyimpulkan bahwa kondisi pelaut kapal ikan Indonesia belum benar-benar baik, kopetensi pelaut kapal ikan seharusnya sudah harus sejajar dengan para pelaut kapal ikan yang tentunya semua itu seharusnya mampu mendongkrak penghasilan pelaut kapal ikan. Hal besar yang perlu digaris bawahi terkait permasalahan diatas yaitu:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun