Mohon tunggu...
Navarone Wibisono
Navarone Wibisono Mohon Tunggu... -

Seorang pengamat amatir semi profesional di bidang teknologi informasi, arsip, intelijen, miiter, ruang angkasa dan kedirgantaraan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Herlina, Srikandi Pejuang Trikora Menolak Nama Papua

15 Maret 2013   15:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:43 15108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kisah Herlina, Srikandi Pejuang Trikora

Menolak Nama Papua

Oleh : Okki Navarone Wibisono

Tidak banyak jejak arsip srikandi pejuang perempuan yang ikut dalam perjuangan secara fisik pasca kemerdekaan. Salah satu srikandi pejuang perempuan pasca kemerdekaan adalah Herlina yang terlibat dalam operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) dalam Komando Mandala yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto. Trikora dicetuskan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961 di alun-alun utara kota Yogyakarta yang isinya :

1. Gagalkan berdirinya negara Boneka Papua bentukan Belanda

2. Kibarkan sang Merah Putih di Irian Jaya tanah air Indonesia

3. Bersiap melaksanakan mobilisasi umum

Trikora muncul karena adanya kekecewaan dari pihak indonesia yang selalu gagal dalam upaya diplomasi melalui beberapa perundingan dengan Belanda untuk mengembalikan Irian barat yang secara sepihak yang diklaim oleh Belanda.

Surat Keputusan Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI, (Sumber: Herlina Pending Emas)

Ketika pada tahun 1961 Presiden Soekarno mengobarkan semangat Trikora, Herlina pada waktu itu berada di Maluku sebagai pendiri Mingguan Karya yang berkantor di Ternate inipun jiwanya merasa terpanggil dan mendaftar sebagai salah seorang sukarelawati. Di wilayah Kodam XIV Pattimura namanya sudah tak asing lagi, karena ia kerap menulis di mingguan tersebut.

Melalui Kodam Pattimurasebagai bagian dari Komando Mandala dan operasi Trikora Herlina diterjunkan bersama 20 orang sukarelawan untuk melakukan infiltrasi dan operasi gerilya di rimba belantara Irian Barat.

Akhirnya setelah operasi-operasi infiltrasi mulai mengepung beberapa kota penting di Irian Barat, termasuk dengan aksi penerjunan Herlina di belantara Irian, sadarlah Belanda dan sekutu-sekutunya, bahwa Indonesia tidak main-main untuk merebut kembali Irian Barat. Atas desakan Amerika Serikat, Belanda bersedia menyerahkan irian Barat kepada Indonesia melalui Persetujuan New York / New York Agreement. Sesuai dengan perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 berlangsung upacara serah terima Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI. Upacara berlangsung di Hollandia (Jayapura). Dalam peristiwa itu bendera PBB diturunkan dan berkibarlah merah putih yang menandai resminya Irian Barat menjadi provinsi ke 26. Nama Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya ( sekarang Papua ).

Herlina atau Herlina Kasim merupakan srikandi pejuang sukarelawati Trikora dan mendapat julukan "Pending Emas". Julukan pending emas ini tidak lain karena Herlina mendapat penghargaan Pending Emas sebesar ½ kilogram (500 gram) pada tanggal 19 Februari 1963 yang didasarkan oleh Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertingi Angkatan Perang Republik Indonesia/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No. 10/PLM.BS- Tahun 1963. Penghargaan yang cukup menarik ini diberikan kepada Herlina karena keberaniandan kegigihan sebagai perempuan sukarelawati pertama yang berani terjun di belantara Irian Barat semasa Operasi Trikora.

Pengalaman itulah yang membuat namanya terukir sebagai salah seorang tokoh dalam sejarah operasi lintas udara di tanah air. Keberaniannya yang luar biasa tidak lepas dari kesukaannya berpetualang. Setelah menamatkan SMA, antara tahun 1959-1961 ia berkeliling Indonesia, hingga ke daerah Maluku.

Saat itu situasi di Maluku sendiri, sebagai garis depan, kian memanas menyusul dibentuknya Dewan Papua boneka Belanda. Semagat juang Herlina meledak, lalu memimpin penduduk di sekitar tempat ia tinggal dan melakuakan demonstrasi menentang Dewan Papua dan mengajak bersatu untuk merebut Irian Barat.

Merasa kurang aksi dengan hanya berdemo, diam-diam ia mengajukan permohonan kepada Panglima Kodam XVI Pattimura agar dapat di terjunkan di Irian Barat. Herlina pada waktu pertama kali mendaftar belummemiliki pengalaman terjun, terlebih terjun militer. Akan tetapi hal itu tidak menjadi masalah baginya dan dia pun siap diterjunkan sebagai barang. Panglima Kodam XVI Pattimura akhirnya meluluskan permintaannya, dengan syarat semua ini akan menjadi rahasia antara Herlina dan dirinya.

Presiden Soekarno memberikan penghargaaan kepada sukarelawati Trikora, Herlina (Sumber: Herlina Pending Emas)

Si pending emas ini dilahirkan di Malang, Jawa Timur, pada tanggal 24 Februari 1941. Pendidikan SD di Malang (1953); SMP di Jakarta (1956); SMA di Jakarta (1959); Pendidikan Militer Korps Wanita Angkatan Darat (1963-1964); Pendidikan Atase Pers Departemen Luar Negeri. Riwayat pekerjaannya ialah sebagai Pegawai Departemen Pertanian di Jakarta (1955-1956), Anggota Militer Korps Wanita Angkatan Darat (1964), Pegawai Departemen Luar Negeri (1964), diperbantukan Departemen Luar Negeri untuk Operasi Khusus; Komandan Batalyon Sukarelawati Dwikora (1964). Bersama para pejuang Trikora, Herlina dianugerahi tanda jasa oleh Presiden Soekarno berupa Pending Emas, sebuah ikat pinggang dari emas murni seberat 500 gram plus uang Rp. 10 juta. Tetapi semua hadiah itu ditolaknya karena katanya "Saya berjuang untuk bangsa dan negara, bukan mencari hadiah."

Suri tauladan seperti ini tampaknya sudah sangat sulit kita jumpai saat ini.

Sebagai seorang penulis yang piawai, perjuangan Herlina dalam operasi Trikora dituangkannya dalam buku Pending Emas yang terbit pertama kali pada tahun 1964 dengan kata pengantar dari Presiden Soekarno. Yang menarik, pada edisi cetakan tahun 1985, kata pengantar dari Presiden Soekarno dihilangkan dan digantikan oleh kata pengantar dari Letjen Achmad Taher. Pada buku edisi kedua itu nama Panglima Komando Mandala, Mayjen Soeharto ditulis berulang-ulang dan berbunga-bunga. Padahal dalam buku edisi cetakan sebelumnya Herlina tidak menggambarkan kekagumannya kepada Panglima Komando Mandala itu. Alih-alih, sama sekali tidakdisebutkan nama panglima yang akhirnya menjadi Presiden RI kedua tersebutdi dalam buku edisi pertama.

Selepas masa Trikora, pada tahun 1965 Herlina mendapat tugas dari satuan Opsus (Operasi Khusus) Departemen Luar Negeri untuk menerbitkan surat kabar koran Berita Harian palsu yang akan disebarkan di semenanjung Malaya bersama Taguan Harjo, pelukis komik terkenal dari Medan yang saat itu bekerja di seksi penerbitan Staf Pempen (Pembangunan dan Penampungan) Daerah Militer II Bukit Barisan sebagai pemimpin redaksi. Koran itu dipilih karena di samping populer di Malaysia juga memakai huruf Latin hingga tidak sulit ditiru. Isi koran palsu yang diterbitkan akhir September 1965 itu hampir seluruhnya propaganda anti pembentukan Malaysia. "Semuanya telah ditentukan oleh 'kantor pusat' di Jakarta," cerita Herlina. Urusan penyebaran menjadi tugas Herlina. Untuk mengangkutnya ke Malaysia dipakai enam buah tongkang ikan yang masing-masing berisi lima "nelayan". Saya sendiri ikut ke Pontian (sebuah pelabuhan kecil di Perak, Malaysia)," kisah Herlina pada majalah Tempo Edisi. 25/XI/22 - 28 Agustus 1981 (tempointeractive.com).

Waktu itu ia menyamar sebagai nelayan yang mengenakan celana panjang hitam, baju kain kasar dan topi lebar.Di Malaysia telah siap kurir yang akan menyebarkan koran tersebut. Sebelum edisi yang kedua sempat terbit, Gerakan 30 September meletus. Penerbitan koran palsu dihentikan. "Di samping itu kita juga sudah memutuskan ingin berdamai dengan Malaysia," kata Herlina.

Urusan penyebaran menjadi tugas Herlina. Untuk mengangkutnya ke Malaysia dipakai enam buah tongkang ikan yang masing-masing berisi lima "nelayan". Saya sendiri ikut ke Pontian (sebuah pelabuhan kecil di Perak, Malaysia)," kisah Herlina yang pada masa itu juga menjadi komandan batalyon sukarelawati Dwikora.

Nama Herlina selain tenar dan dikenang sebagai pejuang Trikora yang pemberani sekaligus sukarelawati Dwikora ternyata juga tidak lepas dari kekurangan, hal ini dapat kita lihat dalam catatan arsip salah satu surat kabar pada tahun 1986 ketika kompetisi sepakbola pada waktu itu yaitu Liga Galatama sempat tercoreng akibat skandal pengaturan skor yang dilakukan ofisial klub Caprina (klub Galatama dari Denpasar, Bali) akibat menyuap beberapa pemain Makassar Utama yang pemilik klubnya tidak lain adalah Herlina si pending emas, srikandi pejuang wanita Trikora.

Lama tidak terdengar, kabar terakhir tentang sukarelawati Trikora ini adalah pada saat menghadiri Peringatan 50 Tahun Trikora pada tanggal 19 Desember 2011 lalu, dimana beliau mengusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan DPR agar mengembalikan nama Papua saat ini menjadi Irian kembali. Nama Irian mengingatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final bagi rakyat Irian. Sebab hal tersebut dapat dibuktikanberdasarkan arsip-arsip yang ada bahwa pada tanggal 1 Mei 1963 United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia hingga kemudian Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Ketika itu, mayoritas rakyat Irian Barat memilih bergabung ke RI.

Nama Papua, kata perempuan kelahiran Malang 70 tahun lalu itu, identik dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Padahal, gerakan separatisme itu yang ditentang oleh para pejuang Trikora atas komando Presiden Soekarno dan operasionalnya dipimpin Panglima Mandala Pembebasan Irian Barat Mayor Jenderal Soeharto. "Indonesia harus mengembalikan namanya menjadi Irian. Sehingga tidak ahistoris dengan semangat perebutan Kembali Irian Barat ke Bumi Pertiwi yang dilakukan oleh para pahlawan pejuang kemerdekaan," ujar dia seraya mengingatkan persoalan mengatasi ketidakadilan di Bumi Cendrawasih adalah tugas utama pemerintahan SBY. Terlepas dari sejarah di atas, penggunaan nama Papua menggantikan Irian ditegaskan dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat hingga pada hari ini masih menjadi wilayah NKRI. Apakah penggunaan nama Papua pada masa yang akan datang menjadi ganjalan bagi rakyat Papua ? ataukah justru menjadi spirit bagi rakyat Papua dalam membangun NKRI, ataukah kita perlu kembalikan lagi menjadi Irian seperti kata Herlina si Pending Emas biarlah waktu yang menjawab.

Referensi :

Herlina. 1964. Pending Emas. Gunung Agung.Jakarta

Marching, Soe Tjen. 2011. Kisah di Balik Pintu Identitas Perempuan Indonesia: Antara yang Publik & Privat. Penerbit Ombak.

Sekretariat Negara Republik Indonesia.1986. 30 Tahun Indonesia Merdeka. PT Citra Lamtoro Gung Persada. Jakarta. Cetakan Ketujuh.

http://bola.okezone.com/read/2012/03/08/262/589167/balada-bek-risto-dan-coach-sinyo

http://www.beritasatu.com/nasional/22172-herlina-minta-sby-kembalikan-nama-papua-jadi-irian.html

Arsip Nasional Republik Indonesia. www.anri.go.id

http://www.tempointeractive.com/hg/mbmtempo/arsip/1981/08/22/NAS/mbm.19810822.nas3.id.html


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun