Mohon tunggu...
Naufal Pambudi
Naufal Pambudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mr.

Koordinator Ikatan Masyarakat Muda Madani (IMAM)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Klaim Dinasti Rais, dari Nonton Film sampai Partai Allah

12 November 2018   19:27 Diperbarui: 12 November 2018   19:54 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kamis lalu, publik sibuk membandingkan kursi bioskop dalam peluncuran dua film, "A Man Called Ahok" VS "Hanum & Rangga." Film pertama mengisahkan riwayat hidup Ahok, sementara film kedua diangkat dari novel karya Hanum Rais, yang mengangkat pengalaman anak perempuan Amien Rais itu.

Dalam konten yang diunggah warganet, terlihat kursi penonton "Hanum & Rangga" banyak yang kosong, berbanding terbalik dengan penonton "A Man Called Ahok" yang dipenuhi pengunjung.

Lebih hebohnya, di dunia maya juga beredar surat Hanum untuk Universitas Muhammadiyah Surakarta, berisi permintaan agar UMS memobilisasi civitas kampus untuk menonton film "Hanum & Rangga." Warganet serasa mendapat amunisi untuk meluapkan celoteh dan kekesalannya kepada Hanum. Tampaknya, banyak warganet masih kesal dengan drama sentimentil saat Hanum terlibat rekayasa penganiayaan Ratna Sarumpaet.

Sebenarnya, jauh sebelum drama Ratna Sarumpaet pun warganet telanjur kesal dengan manuver Amien Rais yang provokatif dan inkonsisten. Pada April 2018 lalu misalnya, dalam pidato di Masjid Baiturrahim, Mampang Prapatan, Amien memilah partai politik menjadi dua, yaitu Partai Allah dan Partai Setan, di mana PAN, PKS dan Gerindra merupakan representasi Partai Allah. Meski tak menyebut nama, secara tak langsung Amien telah menyudutkan kelompok lain sebagai Partai Setan.

Pernyataan Amien Rais itu langsung menuai reaksi masyarakat, di antaranya para aktivis 98 yang mempertanyakan keterlibatan Amien Rais dalam gerakan reformasi. Di mata para aktivis, predikat "Bapak Reformasi" yang kerap dilekatkan pada Amien Rais adalah klaim kosong belaka. Para aktivis 98 merasa tak pernah merasakan kontribusi Amien terhadap gerakan mahasiswa yang mereka dorong 20 tahun lalu. Bahkan, banyak kalangan aktivis menilai Amien Rais hanya menunggangi gerakan mahasiswa demi kepentingan politiknya.

Jika dua kasus itu kita sandingkan dengan surat Hanum untuk UMS, ada benang merah yang bisa ditarik, yaitu politik klaim. Pada kasus Partai Allah, Amien melakukan klaim bahwa Partai Allah adalah partai-partai yang mendukung pencapresan Prabowo. Pada kasus ini, Amien telah mencatut nama Tuhan maha tinggi untuk kepentingan politik yang sarat intrik dan kepentingan duniawi. Tujuan Amien semata-mata mengajak warga muslim mengikuti pilihan politiknya, dan tak mau tahu betapa sakral makna Allah ketika disandingkan dunia politik yang kotor.

Pada kasus kedua, predikat Bapak Reformasi yang dibanggakan Amien Rais juga merupakan politik klaim, yang seolah-olah dirinya berperan vital dalam gelombang reformasi. Faktanya, banyak kesaksian aktivis menyebut betapa oportunis sikap Amien Rais. Saat gelombang reformasi masih sporadis Amien tak mau ambil resiko, tapi tiba-tiba naik panggung ketika aksi massa membesar. Klaim Bapak Reformasi itu dinilai menyakiti para aktivis yang telah mempertaruhkan hidup demi reformasi.

Dan dalam surat untuk UMS, Hanum atas nama kader Muhammadiyah dan Nasyiatul Aisyiah meminta civitas UMS menyaksikan film yang digubah dari novelnya. Sekali lagi, tindakan Hanum itu adalah refleksi dinasti Rais yang gemar melakukan politik klaim. Hanum secara tersirat ingin menyebut bahwa film "Hanum & Rangga" mewakili aspirasi warga Muhammadiyah, sehingga segenap kader persyarikatan diminta beramai-ramai menonton. Padahal, inti dari surat itu hanyalah meminta filmnya ditonton, agar penjualan tiket tinggi, agar rating film meningkat, dan seterusnya. Demi semua itulah, Hanum meminta institusi UMS memasang poster ajakan nonton film "Hanum & Rangga."

Mungkin Hanum dan Amien lupa pesan KH Ahmad Dahlan untuk menghidup-hidupi Muhammadiyah, bukan malah mencari penghidupan dari Muhammadiyah. Atau mungkin, Amien Rais memang berbeda tabiat dengan KH Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah sebagai media dakwah dan perjuangan, bukan sebagai media mencari penghidupan. Kita bisa bandingkan saat Amien Rais mendirikan PAN misalnya, dan saat ini 4 dari 5 anak menjadi Caleg PAN. Sulit untuk tetap berpikir positif atas pilhan politik dinasti Amien Rais ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun