"Dari ulat bulu, pagar laut ilegal, hingga sumpah jabatan, tiga tulisan ini menyingkap wajah bangsa yang masih dilingkupi ketakutan, kepentingan elite, dan krisis moral."Â
Melihat kondisi Indonesia saat ini, saya rasa ada tiga artikel yang cukup relevan dengan situasi yang sedang kita hadapi sekarang. Artikel pertama berjudul "Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu" karya F. Rahardi (Kompas.com). Artikel kedua adalah "Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal" dari Editorial Tempo, dan artikel ketiga berjudul "Ketika Etika dan Sumpah Menjadi Teks Mati" karya Budiman Tanuredjo (Kolom Kompas, 28 Agustus 2024). Ketiga artikel ini memang membahas isu yang berbeda, tetapi sebenarnya memiliki kesamaan, yaitu semuanya menyinggung kelemahan masyarakat maupun negara kita dalam menghadapi masalah yang serius.
Artikel karya F. Rahardi ini menurut saya menarik karena berhasil menggabungkan berbagai jenis teks dalam satu tulisan yang kohesif. Ia memulai dengan cerita narasi tentang ulat bulu, lalu masuk pada penjelasan tentang biologi dan lingkungan, kemudian menutup dengan refleksi bernuansa sastra dan politik.
"Indonesia saat ini ibarat republik hantu. Masyarakat mudah sekali terserang fobia oleh sesuatu yang sebenarnya tidak benar-benar membahayakan."Â
Bagi saya, artikel ini membuka sudut pandang baru. Ulat bulu di sini hanya simbol kecil. Fobia masyarakat terhadap ulat bulu menggambarkan sikap kita yang sering lebih takut pada sesuatu yang tidak berbahaya, sementara masalah nyata seperti kerusakan lingkungan atau krisis moral justru dibiarkan. Saya setuju bahwa kita harus lebih rasional dalam menanggapi fenomena alam, bukan malah panik atau termakan narasi yang tidak jelas.
Sementara itu, artikel dari Editorial Tempo menyoroti lemahnya penegakan hukum terkait kasus pagar laut ilegal. Editorial tersebut menulis, "Penyidikan kasus ini semestinya tidak memerlukan Teknik yang rumit dan bertele-tele. Pemasangan patok-patok bambu sepanjang 30,16 kilometer sejak 2023 itu melibatkan banyak orang yang dapat dimintakan keterangan. Dari kesaksian mereka, tim penyidik Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Polri seharusnya tidak kesulitan menguak dalang proyek tak berizin yang melanggar pidana pemanfaatan ruang laut tersebut." Kalimat itu tegas dan menunjukkan bahwa ada permainan birokrasi yang memperumit masalah.
Menurut saya, kasus ini sangat serius. Pemasangan pagar laut bukan hanya soal patok bambu, tetapi menyangkut hak rakyat kecil, kedaulatan negara, dan masa depan pengelolaan laut Indonesia. Saya sepakat bahwa Presiden seharusnya turun tangan agar kasus ini tidak sekadar berhenti di meja birokrasi. Artikel ini mengingatkan kita bahwa hukum tidak boleh dipermainkan, apalagi hanya untuk melindungi kepentingan segelintir elite.
Kemudian, artikel Artikel yang ditulis Budiman Tanuredjo ini memberikan kritik tajam kepada para pejabat dan wakil rakyat. Ia menyoroti bahwa sumpah jabatan dan etika politik kini hanya sebatas formalitas. Ia menulis, "Soal ketidakadilan ekonomi, soal keteladanan, dan lumpuhnya penegakan hukum, soal perjudian. Rasanya belum ada perubahan signifikan. Soal krisis keteladanan rasanya itulah kenyataan yang ada." Â
"Soal ketidakadilan ekonomi, soal keteladanan, dan lumpuhnya penegakan hukum, soal perjudian. Rasanya belum ada perubahan signifikan. Soal krisis keteladanan rasanya itulah kenyataan yang ada."
Menurut saya, artikel ini sangat relevan dengan kondisi bangsa sekarang. Banyak pejabat yang melupakan janji mereka untuk mendahulukan kepentingan rakyat. Padahal sumpah jabatan seharusnya menjadi pengingat moral. Saya juga merasa bahwa kita sedang berada di tengah krisis keteladanan. Tidak banyak tokoh publik yang bisa dijadikan contoh dalam hal moralitas maupun kepemimpinan. Jika hal ini terus dibiarkan, demokrasi kita hanya akan menjadi permainan politik yang jauh dari kepentingan rakyat.Â