Mohon tunggu...
Natasya Angelina
Natasya Angelina Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UIN Jakarta

Saya memiliki ketertarikan mendalam terhadap isu isu global, khususnya bidang lingkungan, politik, dan ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kepentingan Ekonomi Inggris di Balik Dukungannya terhadap Klaim Maroko atas Sahara Barat

7 Juni 2025   21:00 Diperbarui: 7 Juni 2025   21:04 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
British Foreign Secretary David Lammy in London, Britain, March 10, 2025 (REUTERS/Isabel Infantes/File Photo) 

Pada awal Juni 2025, dunia diplomasi dikejutkan oleh manuver terbaru Inggris dalam konflik panjang Sahara Barat. Dalam kunjungannya ke Rabat, Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy menyatakan dukungan eksplisit terhadap rencana otonomi Maroko untuk wilayah Sahara Barat, sebuah perubahan kebijakan besar setelah puluhan tahun Inggris memilih posisi netral dan menegaskan pentingnya hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Sahara Barat.

Langkah ini bukanlah sekadar pernyataan diplomatik. Di baliknya tersembunyi kepentingan ekonomi konkret: kerja sama strategis menjelang Piala Dunia 2030 yang akan diselenggarakan oleh Maroko bersama Spanyol dan Portugal. Lammy secara terbuka menyebut bahwa kesepakatan ini akan membuka peluang bagi perusahaan Inggris untuk “mencetak skor besar di panggung sepak bola terbesar”, terutama melalui kontrak infrastruktur dan proyek investasi di sektor kesehatan serta bandara Casablanca.

Pergeseran posisi Inggris, negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, memiliki dampak geopolitik yang besar. Kini, Inggris menjadi negara kuat ketiga setelah Amerika Serikat dan Prancis yang mendukung rencana Maroko. Secara substansi, rencana otonomi ini memang telah ada sejak 2007. Ia menawarkan pemerintahan sendiri yang terbatas di bawah kedaulatan Maroko, tetapi tidak pernah disetujui atau dinegosiasikan secara langsung dengan rakyat Sahara Barat yang diwakili oleh Front Polisario. Sebaliknya, rencana referendum yang diusung PBB sejak 1991 belum pernah terlaksana.

Dukungan Inggris pun menuai reaksi keras, terutama dari Aljazair (negara pendukung utama Front Polisario). Pemerintah Aljazair menyebut proposal Maroko sebagai “kosong tidak mampu memberikan solusi yang serius dan kredibel”. Namun dibandingkan saat Spanyol berbalik mendukung Maroko pada 2022, yang membuat Aljazair menarik duta besarnya dari Madrid, respons terhadap Inggris relatif lebih lunak, hanya sebatas penyesalan verbal. Fenomena ini menunjukkan melemahnya posisi Aljazair dan Polisario di kancah diplomasi internasional.

Sementara itu, Maroko terus memperkuat cengkeramannya secara de facto di Sahara Barat. Investasi besar dalam sektor pariwisata, pembangunan infrastruktur, dan modernisasi wilayah seperti Dakhla menunjukkan tekad Rabat untuk mengintegrasikan wilayah tersebut ke dalam tubuh negaranya secara permanen. Kini dengan sokongan negara-negara besar, Maroko mendapatkan legitimasi baru yang semakin menyudutkan pihak pro-kemerdekaan.

Namun, ada paradoks yang tak bisa diabaikan. Di satu sisi, Inggris dan negara Barat lainnya berbicara soal “solusi pragmatis” dan “stabilitas kawasan”. Di sisi lain, mereka mengabaikan prinsip utama yang selama ini dijunjung tinggi PBB: hak penentuan nasib sendiri. Bahkan dalam komunike bersama antara Inggris dan Maroko, prinsip tersebut hanya disebutkan secara umum tanpa komitmen pada pelaksanaan referendum.

Melihat kecenderungan ini, jelas bahwa politik global hari ini tak lagi hanya soal idealisme, tetapi sangat dipengaruhi oleh kalkulasi kepentingan ekonomi. Dalam kasus Inggris, perubahan kebijakan ini tampaknya lebih didorong oleh potensi investasi dan peluang bisnis dalam proyek-proyek strategis di kawasan Afrika Utara, daripada komitmen terhadap penyelesaian adil atas konflik berkepanjangan.

Kini, yang menjadi pertanyaan penting adalah: apakah dunia akan terus memutarbalikkan prinsip demi investasi? Ataukah masih ada ruang bagi diplomasi yang berpihak pada suara rakyat yang terpinggirkan?

Dukungan Inggris terhadap Maroko bukan hanya sinyal politik, tapi juga preseden yang dapat membentuk ulang lanskap geopolitik kawasan. Di tengah pergeseran dukungan ini, masa depan Sahara Barat pun kian suram, tak hanya karena konflik bersenjata yang beku selama puluhan tahun, tetapi karena keadilan kini dipertaruhkan dalam pertukaran proyek infrastruktur dan stadion sepak bola.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun