Mohon tunggu...
Narotama Timothy
Narotama Timothy Mohon Tunggu... Pelajar

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Fobia

2 Oktober 2025   20:42 Diperbarui: 2 Oktober 2025   20:42 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

F. Rahardi melalui tulisannya "Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu" menyampaikan kritik sosial dengan cara yang sederhana, tetapi memiliki banyak makna. Ia memakai perumpamaan "fobia ulat bulu" untuk melukiskan rasa takut berlebihan yang melanda masyarakat maupun pemimpin. Namun, menurutnya, akar masalah yang sebenarnya adalah kerusakan moral para pemimpin, sehingga masyarakat kehilangan rasa percaya. Simbol fobia ulat bulu di sini menggambarkan keadaan di mana pemimpin dan rakyat justru menghindari hal-hal kecil, padahal permasalahan besar yang sesungguhnya jauh lebih berbahaya diabaikan.

Rahardi menuangkan gagasannya secara persuasif dengan memadukan pandangan pribadi, bukti nyata, serta pengalaman yang ia alami sendiri. Salah satu contohnya adalah kisahnya di Purwakarta tentang siklus alam, yang digunakan untuk menegaskan argumennya. Ia juga membuat perbandingan antara fobia ulat bulu dengan fobia politik yang dialami para pemimpin. Dengan begitu, tulisannya bukan hanya kritik keras, melainkan juga menawarkan sudut pandang baru bagi pembaca dalam memahami kondisi politik dan sosial bangsa.

Tanggapan atas artikel tersebut menunjukkan bahwa rasa takut berlebihan bisa membawa dampak negatif yang lebih luas. Fobia massal yang muncul mencerminkan hilangnya rasa percaya masyarakat terhadap para pemimpin. Jika masalah kecil seperti ulat bulu saja tidak bisa ditangani secara bijak, lalu bagaimana dengan masalah besar yang jauh lebih rumit? Artikel ini memberi peringatan bahwa hilangnya kepercayaan publik merupakan kerugian terbesar bagi negara, dan rasa takut terhadap kebenaran hanya akan semakin melemahkan bangsa.

Berbeda dengan itu, editorial Tempo berjudul "Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal" menyoroti lemahnya penanganan pemerintah terhadap kasus pagar laut ilegal di Banten. Editorial ini menegaskan bahwa proses hukum yang tidak transparan menciptakan kesan seolah-olah pemerintah sedang memainkan sandiwara. Lambannya penanganan kasus ini bahkan menimbulkan dugaan adanya pihak-pihak berkuasa yang sengaja dilindungi.

Editorial tersebut menyampaikan kritik dengan bahasa yang lugas sekaligus memberi jalan keluar. Menurut penulisnya, Presiden Prabowo Subianto seharusnya turun tangan secara langsung agar kasus ini benar-benar diselesaikan hingga ke akar permasalahan. Dengan begitu, editorial ini tidak hanya berfungsi sebagai kritik, tetapi juga sebagai bentuk pengawasan publik yang memberi arahan konkret bagi pemerintah untuk bertindak.

Ulasan atas editorial Tempo menunjukkan bahwa penegakan hukum yang jelas dan tegas adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Kasus pagar laut ilegal bukanlah sekadar persoalan kecil, melainkan cerminan dari sejauh mana pemerintah mampu menegakkan aturan. Jika dibiarkan, rasa tidak percaya rakyat akan semakin dalam, bahkan bisa memicu konflik sosial yang berakibat buruk bagi bangsa. Karena itu, pengusutan kasus ini hingga tuntas adalah langkah penting yang harus dilakukan.

Artikel lain berjudul "Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati" karya Budiman Tanuredjo menyoroti hilangnya keteladanan di kalangan pemimpin bangsa. Ia berpendapat bahwa banyak tokoh politik yang melupakan sumpah dan etika yang seharusnya menjadi pedoman dalam menjalankan tugas. Nilai-nilai itu kini sekadar menjadi "teks mati" yang tak lagi bermakna dalam praktik sehari-hari. Untuk memperkuat argumen, Budiman mengaitkan peristiwa Reformasi 1998 dengan kondisi bangsa saat ini, seperti ketidakadilan, lemahnya hukum, hingga ketiadaan figur teladan. Hal ini mengajak pembaca untuk menilai sejauh mana cita-cita reformasi benar-benar diwujudkan.

Tanggapan atas artikel ini menekankan bahwa bangsa masih membutuhkan tokoh dengan integritas tinggi yang bisa menjadi contoh. Tanpa pemimpin yang kuat dan beretika, Indonesia akan terus berada dalam krisis panjang. Artikel ini menegaskan bahwa krisis keteladanan adalah masalah nyata, dan bangsa kita masih mencari pemimpin baru yang berani menghidupkan kembali sumpah serta etika yang seharusnya menjadi pegangan.

Fenomena belakangan ini, seperti pembatalan konser musik secara mendadak, juga bisa dikaitkan dengan ketiga artikel tersebut. Jika dilihat dari sudut pandang Rahardi, fenomena ini merupakan bentuk fobia yang berlebihan terhadap ekspresi seni. Dilihat dari sisi editorial Tempo, pembatalan konser mencerminkan birokrasi yang penuh dengan permasalahan. Sedangkan menurut kacamata Budiman, hal ini menunjukkan hilangnya etika dan tanggung jawab pemimpin yang seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat.

Kesimpulannya, berbagai masalah bangsa, mulai dari ketakutan yang irasional, lemahnya penegakan hukum, hingga krisis teladan, saling terkait dan membentuk lingkaran masalah yang sulit dipecahkan. Semua ini berakar pada rendahnya kesadaran serta tanggung jawab pemimpin terhadap rakyat. Pada akhirnya, masalah terbesar bukan sekadar ketakutan atau kasus hukum, melainkan keberanian untuk menghadapi kebenaran yang sering dihindari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun