Mohon tunggu...
Nareswara JatiKusuma
Nareswara JatiKusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa DPP Fisipol UGM

Saya seorang Mahasiswa DPP Fisipol UGM

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Representasi yang Represent

25 Desember 2022   18:37 Diperbarui: 25 Desember 2022   18:44 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Overview

Demokrasi sebagai sistem politik saat ini telah menjadi pilihan hampir seluruh negara di dunia. Demokrasi merupakan pilihan terbaik dalam menyelenggarakan politik dan pemerintahan, karena dengan itu rakyat dapat turut serta dalam pemerintahan. Maka, muncul slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi memberi peluang kepada warga negara untuk berperan dalam diskursus pembuatan kebijakan publik. Namun, dalam kehidupan negara modern, tidak memungkinkan seluruh warga turut serta dalam pengambilan kebijakan publik. Dengan demikian, penting persoalan terkait keterwakilan dibicarakan.

Di Indonesia, demokrasi dan sistem perwakilan menjadi syarat agar semua kelompok masyarakat terwakili. Tujuannya agar dalam pengambilan keputusan tidak ada kelompok yang ditinggalkan. Namun, sejak demokrasi dipraktikkan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak bisa mewakili semua kelompok dalam masyarakat. Kenyataan ini menurut Robert Dahl, mendorong parlemen sering mengeluarkan kebijakan yang mendiskriminasi kelompok masyarakat yang diklaim diwakilinya.

Membaca Representasi Melalui Hanna Pitkin

Pitkin memberikan definisi, "untuk mewakili hanyalah untuk menghadirkan kembali". Representasi adalah yang membuat present again, membuat sesuatu hadir lagi dari satu ranah, hadir diranah yang lain. Pada pengertian ini, perwakilan politik adalah kegiatan membuat suara, pendapat, dan perspektif warga negara "hadir" dalam proses pembuatan kebijakan publik. Representasi politik terjadi ketika aktor politik berbicara, mengadvokasi, melambangkan, dan bertindak atas nama orang lain di arena politik. Dalam representasi ada 5 komponen, yaitu : (1) beberapa pihak yang mewakili (perwakilan, organisasi, gerakan, lembaga negara); (2) beberapa pihak yang diwakili (konstituen, klien); (3) sesuatu yang diwakili (pendapat, perspektif, minat, wacana); (4) pengaturan di mana kegiatan representasi berlangsung (konteks politik); (5) sesuatu yang ditinggalkan (pendapat, minat, dan perspektif tidak disuarakan).

Kehidupan demokrasi sering kali bertentangan dengan konsep representasi. Studi representasi yang diungkapkan oleh Hanna Pitkin lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat konseptual dan teoritis. Pitkin mencoba menjelaskan mengenai korelasi antara representasi dan demokrasi. Representasi telah bergeser dari kewajiban (zaman kerajaan Inggris) menjadi sebuah hak (melawan kesewenang-wenangan raja dan negara). Pitkin mengutip Hannah Arendt bahwa representasi yang benar-benar demokratis dapat diwujudkan melalui demokrasi yang partisipatif dan konkrit dari tingkat lokal. Melalui cara tersebut setiap warga negara akan belajar memahami kegelisahan yang dirasakan langsung oleh masyarakat, sehingga kebijakan publik dapat berangkat dari bawah.

Pitkin berpendapat dengan dimulai dari memahami keresahan dari tingkat bawah maka pengambil kebijakan akan lebih mengutamakan kepentingan kolektif. Demokrasi lokal menjadi pondasi awal dari demokratisasi yang lebih tinggi (nasional). Orang-orang yang menjadi perwakilan di nasional berangkat dari permasalahan yang mereka pahami dan alami di tingkat lokal. Pitkin setidaknya memberikan gambaran bahwa kebijakan publik negara harus melihat kondisi-kondisi di tingkat lokal. Keresehan (urgensi) yang berangkat dari lokal menjadi sebuah substansi penting dalam pengambilan keputusan.

Representasi yang Seharusnya

Penulis setuju bahwasanya konsep keterwakilan yang ada di Indonesia saat ini sudah cocok dengan adanya sistem desentralisasi dan otonomi daerah. Namun, dalam praktik dan penerapannya masih terdapat kelemahan. Mengapa demikian? alasannya : (1) sistem keterwakilan yang sangat terbatas, sehingga menciptakan sekat antara representator di daerah dengan yang di pusat, (2) proses diskursus yang berkembang di masyarakat, hampir mustahil bisa sampai ke level nasional karena adanya sekat tersebut, (3) representator di level pusat ketika menjaring opini publik di daerahnya, lebih kepada formalitas ketimbang substantif, (4) kebijakan nasional turut mempengaruhi masyarakat di level daerah, walaupun ada kebijakan di tingkat lokal.

Kelemahan tersebut terlihat dalam praktik-praktik: pertama, terlihat dalam sejumlah langkah politik pejabat publik dan elit politik di lingkungan eksekutif dan legislatif yang mengambil keputusan menyangkut kepentingan publik dan hajat orang banyak di dalam lingkaran mereka sendiri. Sebagai representator tidak mewakili masyarakat. Kenyataan ini terlihat dalam proses legislasi di DPR sejak perubahan UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK menjadi UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK, pengajuan RUU Omnibus Law sejak Oktober 2019 menjadi UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Perubahan dan pengesahan semua UU itu sepenuhnya ditentukan oleh eksekutif dan legislatif di dalam lingkaran mereka sendiri. Publik tidak dilibatkan secara signifikan dalam perubahan dan pembentukan UU tersebut.

Kedua, konflik pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas, representasi yang dipakai melalui advokasi dan organisasi masyarakat sipil bukan melalui jalur formal melalui DPRD. Seharusnya DPRD Kabupaten Purworejo maupun Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bisa mengadvokasi ke DPR RI ataupun Pemerintah Pusat. Namun, dengan adanya Peraturan Presiden RI Nomor 56 Tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, seolah-olah seluruh masyarakat Indonesia setuju dengan pembangunan Bendungan Bener dan kebijakan nasional yang sudah disahkan tidak dapat diganggu gugat oleh daerah. Kebijakan nasional turut mempengaruhi masyarakat di level daerah, walaupun ada kebijakan di tingkat lokal. Padahal daerah yang lebih mengetahui tentang yang terbaik untuk wilayahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun