Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu...

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengenal dan Menggunakan Argumen A Fortiori Secara Bijak

11 November 2013   11:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:19 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kita mungkin sudah pernah mendengar atau bahkan kita sendiri sudah pernah menggunakan kalimat ini: "Kalau masih kecil saja sudah begini, apalagi kalau sudah besar [bakal lebih lagi]". Entah dalam rujukan spesifik yang mana, kalimat ini sebenarnya mengasumsikan suatu dinamika atau lebih tepatnya eskalasi "dari yang kecil ke yang besar".

Dalam logika (hukum-hukum penalaran), cara berargumentasi seperti di atas dikenal dengan istilah argumen a fortiori. Argumen ini sebenarnya didasarkan atas asumsi bahwa jika satu hal benar, maka hal berikutnya yang berhubungan dengan hal pertama tadi sangat mungkin untuk benar juga.

Argumen ini sendiri tidak memberikan suatu kesimpulan yang pasti, sebagaimana argumen deduktif. Tetapi, argumen ini memiliki nilai penegasan yang bersifat analogis antar-dua hal yang berbeda namun berhubungan erat.

Itulah sebabnya, argumen a forteriori bernilai dalam hal memberikan penegasan analogis yang mengantisipasi suatu kemungkinan logis antar-dua hal. Misalnya, bila saya berhadapan dengan satu orang perampok saja sudah kewalahan. Maka ketika datang lagi tiga orang temannya, saya akan segera berpikir untuk mengambil langkah seribu. Inferensi untuk mengambil langkah seribu, sebenarnya secara tidak langsung menggunakan argumen a fortiori: "Kalau satu orang saja saya tak mampu, bagaimana bisa menghadapi empat orang?"

Tetapi, harus diingat bahwa argumen a fortiori tidak selalu logis. Misalnya, "Kalau orang miskin berhak mendapatkan pengobatan gratis, apalagi orang kaya". Dan juga, "Kalau Aceh saja menerapkan syariat Islam, maka tidak ada salahnya syariat Islam diterapkan di seluruh wilayah NKRI" [argumen ini tidak logis karena penerapan syariat Islam di Aceh sendiri sebenarnya sudah merupakan kegagalan pemerintah dalam mempertahankan pilar-pilar kebangsaan]. Atau misalnya dalam dongeng terkenal mengenai seorang gadis buruk rupa yang disuruh menyelam ke sungai sebanyak tujuh kali agar menjadi cantik. Setelah tujuh kali menyelam, wajahnya benar-benar berubah menjadi cantik. Tiba-tiba, ia menyelam lagi sebanyak tujuh kali. Dan ternyata, wajahnya kembali menjadi buruk. Gadis dalam kisah dongeng ini, melakukan penalaran a fortiori: kalau tujuh kali yang pertama saja sudah secantik ini, apalagi tujuh kali yang berikutnya. Sekali lagi, contoh-contoh ini memperlihatkan bahwa penggunaan argumen a fortiori tidak selalu logis.

Itulah sebabnya, penilaian terhadap argumen a fortiori harus dilakukan per argumen. Kita tidak bisa menetapkan standar baku bahwa argumen ini logis atau tidak. Kelogisan argumen ini bergantung sepenuhnya atas argumen khusus itu sendiri. Contoh-contohnya seperti yang sudah dikemukakan di atas. Ada yang logis, namun ada yang tidak logis.

Selain itu, perlu diketahui juga bahwa bila kita tidak berhati-hati dalam menggunakan argumen jenis ini, kita akan tergelincir ke dalam sesat pikir bernama: petitio principii atau begging question fallacy. Sesat pikir ini terjadi ketika kita mengajukan sebuah proposisi tanpa bukti padahal seharusnya ia dikemukakan dengan disertai bukti, lalu menarik kesimpulan yang juga sama-sama questionable di atas premis yang bersangkutan.

Maka, silakan saja menggunakan argumen a fortiori, karen argumen ini sendiri memiliki nilai seperti yang sudah dijelaskan di atas. Asalkan kita benar-benar bijak mempertimbangkan argumen a fortiori yang akan kita ajukan sehingga tidak teridentifikasi sebagai sesat pikir.

Semoga bermanfaat; Selamat Siang; dan Salam Kompasiana!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun