http://cryptoroller.com/ Saya tahu persis, trending issue di Kompasiana sekarang soal pemilihan Kapolri yang baru. Saya bukannya tidak tertarik, namun saya memilih memosting isu lain yang sebenarnya merupakan fenomena umum yang bisa kita lihat di mana-mana: judi. Bukan hanya itu, saya teringat, tidak satu dua kali saya berdiskusi dengan sejumlah “penjudi” yang mencoba menjustifikasi kegiatan perjudian sebagai sejenis pekerjaan. Benarkah?
Dalam artikel terdahulu, saya memperlihatkan bahwa penilaian (etis) terhadap judi tidak dapat diletakkan di atas dasar konsekwensi-konsekwensi, entah itu berupa manfaat maupun dampak buruknya. Kita akan terpeleset kepada standar ganda di sini. Di situ saya juga memperlihatkan bahwa penilaian terhadap judi berkait dengan dua pertanyaan: pertama, apakah pada dirinya sendiri (in itself) judi merupakan sesuatu yang bermoral atau tidak bermoral?; dan kedua, apakah judi dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis pekerjaan?
Saya akan menjawab pertanyaan yang kedua saja dulu di sini. Pertanyaan pertama akan dibahas dalam artikel berikutnya. Artinya, di sini saya belum berbicara tentang benar atau salah-nya judi. Saya hanya ingin membahas apakah judi dapat dikategorikan sebagai suatu jenis pekerjaan?
Judi
Ada banyak definisi mengenai judi, namun mengingat keterbatasan space, saya memilih mengacu kepada Edward Rogers yang mendefinisikan judi, demikian:
Determinasi untuk mendapatkan uang, atau nilai uang, melalui penciptaan kesempatan secara artifisial, di mana para pemenang mendapatkan perolehannya dengan mengalahkan sebanyak mungkin orang dan perolehan tersebut didapatkan tanpa nilai kerja yang setara dengan jumlah pendapatannya (1968; 243).
Sebelum mengomentari definisi di atas, saya ingin menarik perhatian kita kepada tulisan dari seorang mantan penjudi yang kemudian menulis sebuah buku berjudul: Fools of Fortune, bernama John Philip Quinn. Buku ini ditulis ketika Quinn berada di penjara kemudian menerima surat cerai dari istrinya akibat begitu getol bermain judi. Quinn mengemukakan tiga hal mendasar yang ada dalam diri seorang penjudi: a) harapan meraih kesenangan; b), keinginan yang kuat untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin dalam waktu singkat; dan c), hal itu dapat tercapai dengan mengalahkan lawan-lawannya (1890; 67).
Definisi Rogers dan komentar Quinn mengantar kita kepada beberapa poin komentar, berikut ini:
- Esensi dari judi adalah keinginan untuk mendapatkanuang atau penghasilan yang banyak tanpa nilai kerja yang setara dengan jumlah yang didapatkan. Di sini faktor keberuntungan menjadi sangat fundamental;
- Penghasilan yang diperoleh dari judi adalah hasil dari kekalahan yang diderita oleh para penjudi lainnya. Artinya, orang tidak dapat memperoleh penghasilan melalui judi tanpa membuat orang lain kehilangan uangnya sebanyak mungkin.
- Dan seperti yang dikemukakan Quinn di atas, unsur kesenangan (pleasure) memainkan peranan yang sangat penting. Secara akumulatif, kesenangan itu didapatkan melalui perolehan uang tanpa nilai kerja yang setara dan kesenangan didapatkan melalui kekalahan lawan-lawannya.
Ketiga poin di atas bisa dibandingkan dengan tulisan Peter Collins mengenai tiga unsur utama di dalam judi, yaitu: (1) sesuatu yang berharga, umumnya uang, yang dipertaruhkan (something valuable at stake); (2) keuntungan atau kerugian yang tidak dapat atau sulit ditebak (unpredictable outcome); (3) pengambilan risiko yang didasarkan pada kemungkinan yang acak (risk based on random chances) - (2003; 15). Kerja
Kerja merupakan realitas mendasar dalam semua society dan ada semacam “kelas-kelas” untuk hal ini. Misalnya, dalam wawasan dunia Yunani kuno, pekerjaan sehari-hari semisal bertani, tukang batu, dsb., hanya cocok untuk para budak (douloi); sementara profesi sebagai filsuf, politisi, anggota militer merupakan pekerjaan-pekerjaan “orang-orang merdeka”.
Terlepas dari aspek sosiologis di atas, kerja bisa didefinisikan sebagai: “vokasi yang mengandung nilai-nilai sebagai sarana untuk mendapatkan penghasilan yang terukur sekaligus merupakan sarana untuk mengasihi Allah dan sesama” (bnd. Preston; 1968, 666).
Definisi di atas mengandung sejumlah cakupan penting yang perlu diberi penjelasan ringkas, sebagai berikut:
- Sebagai vokasi, sebuah pekerjaan menuntut adanya keahlian atau kecakapan tertentu yang entah didapatkan melalu pendidikan formal, informal, pengalaman pribadi.
- Nilai-nilai (values) yang dimaksud adalah nilai-nilai etis (mutlak) dan etiket (kultural dan kontekstual).
- Penghasilan yang terukur berarti ada hitung-hitungan tersendiri untuk menentukan kelayakan upah atau gaji yang diterima oleh seorang pekerja. Terukur di sini termasuk di dalamnya perhitungan mengenai tingkat kesulitan, posisi, tingkat pendidikan, jumlah jam kerja, dsb.
- Sarana mengasihi Allah dan sesama berati bahwa ada dimensi penatalayanan (stewardship) dalam sebuah pekerjaan.
Judi bukan kerja
Mengacu pada definisi dan cakupan pengertian judi dan kerja di atas, saya akan memperlihatkan bahwa judi bukanlah sebuah pekerjaan, dengan dua argumentasi mayor di bawah ini.
Pertama, penghasilan yang didapatkan dari judi “tidak terukur” sebagaimana halnya aspek dari kerja yang terdapat pada poin 3 di atas. Termasuk juga hanya sedikit bersinggungan dengan poin 1 jika ada yang ingin berargumentasi bahwa berjudi pun butuh kecakapan. Sederhana saja, tak ada sarjana penjudi, magister penjudi, doktor penjudi, bukan?
Dan kedua, mengacu kepada elaborasi di atas, judi lebih dekat dengan selfishness dan sama sekali tidak mengandung nilai penatalayanan di dalamnya bahkan di dalamnya tidak terkandung nilai-nilai etis lainnya. Anda tidak dapat menikmati hasil judi tanpa di dalamnya ada tangisan serta helaan nafas kekalahan dari pihak-pihak lain. Tak tersangkali, kegembiraan seorang penjudi karena memenangkan banyak taruhan adalah tangisan lebih banyak lagi pihak yang terlibat dalam perjudian itu.
Secara artifisial, kelihatannya judi merupakan sejenis pekerjaan, namun pada elemen-elemen intinya, judi itu menolak dirinya sendiri untuk disebut sebagai sebuah pekerjaan!
Akhirnya, ingatlah apa yang dikatakan Thomas Jefferson: "I'm a great believer of luck, and I find the harder I work the more I find of it." "Juga Benjamin Franklin: "If you would be wealthy think of saving as well of getting." Dan Owen Feltham: "By gaming we lose both our time and treasure: two things most precious to the life of man."
Referensi
- Edward Rogers, “Gambling,” in James Childress and John Maquarrie (eds), A New Dictionary of Ethics (Louisville, Kentucky: The Westminster Press, 1968).
- Ronald Preston, “Work, doctrine of,” in A New Dictionary of Ethics.
- John Philip Quinn, Fools of Fortune (Chicago: G.L. Howe & Co., 1890).
- Peter Collins, Gambling and the Public Interest (Westport, CT: Praeger, 2003). Catatan: kutipan dari tulisan Collins baru saja ditambahkan. Isi tulisan Collins baru terpikir untuk ditambahkan setelah ada diskusi pada kolom komentar di bawah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI