Sebelum seseorang didiagnosis depresi, ada gejala mutlak yang muncul, demikianlah penjelasan dari bahan bacaan tersebut, misalnya perasaan sedih mendalam dan konstan, kehilangan motivasi, tidak bisa tidur, tidak nafsu makan atau malah munya makan melulu, berat badan naik atau turun, penurunan libido, gangguan konsenstrasi, merasa bersalah, timbul pikiran untuk menyakiti diri sendiri, ide untuk bunuh diri sampai percobaan bunuh diri.
Berarti, samakah depresi dengan gejala patah hati? Orang patah hati biasanya beberapa hari atau dua minggu, sudah menunjukkan gejala normal kembali.
Akan tetapi tidak demikian dengan orang depresi. Ia terganggu perasaan sedih, tidak berharga, hingga pikiran untuk bunuh diri tetap menghantui terus-menerus selama minimal dua minggu bahkan bisa berlangsung seumur hidup jika tidak diterapi dengan tepat. Duh, menyedihkan juga ya.
Tatkala terjawab perbedaan antara kesedihan biasa dengan depresi, tentu kita pun ingin mengetahui penyebabnya, bukan? Oleh karena itu, kegiatan mencari-cari beberapa bahan bacaan pun berlangsung terus, dengan menepis program membeli tanaman hias baru, karena tengah hari ini matahari sedang panas-panasnya.
Jangankan keluar rumah membeli tanaman hias, keluar rumah memenuhi undangan makan siang dari teman yang ada acara pun lewat karena panas sedemikian terasa menyengat tatkala melongok ke halaman.
Setelah memahami perbedaan antara sedih biasa dengan depresi, sekarang kita lanjutkan  menuju pertanyaan berikutnya. Apa sih penyebab depresi? Apa yang membuat orang jatuh dari "Down state" ke "Depression"? Mengapa seseorang bisa jatuh ke "Depression" sedangkan orang lainnya  kembali lagi menuju "Normal state"?
Stress, ternyata masalah yang tidak dapat dianggap ringan karena stress bisa melanda siapa saja dari manusia dewasa sampai anak-anak bahkan bayi. Selain stress, kondisi lingkungan pun berpengaruh terhadap pembentukan depresi.
Lingkungan yang kondusif yang membuat kita mudah mencurahkan masalah tanpa kecemasan dikhianati tentu membantu meringankan depresi. Faktor berikutnya adalah faktor genetika. Faktor yang juga tidak dapat dianggap ringan karena memiliki peran besar juga terhadap perkembangan depresi.
Ringan tidaknya depresi pun dapat diukur dari tiga hal ini. Yang pertama adalah aktivitas otak diukur dengan alat bernama fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging) dan PET (Possitron Emission Tomography).
Kedua alat ini dapat dibandingakan antara scan otak normal dan otak depresi. Yang kedua, otak depresif mengalami penurunan aktivitas di bagian tertentu, bagian pengatur mood, konsentrasi, proses berpikir, dan pengambilan keputusan.Â
Oleh karena itu, terjawab sudah mengapa kaum depresif menjadi sensitif apabila dikritik. Ketiga, adanya ketidakseimbangan serotonin, merupakan salah satu senyawa yang berperan untuk mengatur perasaan senang.